Kamis 25 Jun 2020 00:25 WIB

Cegah Karhutla, Menteri KLHK: TMC Berlanjut Hingga September

TMC untuk membahasi hutan bias berguna mencegah karhutla di beberapa daerah

Menteri LHK Siti Nurbaya (kiri) didampingi Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo menyampaikan konferensi pers seusai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Pemerintah telah mengantisipasi potensi ledakan kebakaran hutan dan lahan yang biasa terjadi pada Agustus sampai September dan akan melakukan rekayasa hujan melalui teknologi modifikasi cuaca. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan-POOL/foc.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Menteri LHK Siti Nurbaya (kiri) didampingi Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo menyampaikan konferensi pers seusai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Pemerintah telah mengantisipasi potensi ledakan kebakaran hutan dan lahan yang biasa terjadi pada Agustus sampai September dan akan melakukan rekayasa hujan melalui teknologi modifikasi cuaca. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan-POOL/foc.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk membasahi hutan dan lahan gambut guna mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan yang dilakukan secara bergantian hingga September 2020.

"Akan kita lanjutkan di Kalimantan, rencananya di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Kita lihat kalau perlu sampai ke utara," kata Siti dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (24/6).

Musim panas 2020 diperkirakan terjadi pada Mei di 38 persen wilayah Indonesia dan pada Juni diperkirakan 27 persen wilayah lainnya mulai merasakan musim panas. "Berarti sisanya di Juli, Agustus dan September akan panas di kira-kira 12 persen wilayah Indonesia. Kita masih deg-degan di Juli, Agustus dan September," ujarnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), katanya, juga memprediksi bahwa 63 persen wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau yang mundur. "Oleh karena itu, kita akan lakukan TMC. Setelah dari Kalimantan nanti rencananya akan dilakukan akhir Juni sampai pertengahan Juli, lalu kita harus kembali lagi ke Sumatera, lalu balik lagi ke Kalimantan," ucapnya.

Kondisi gambut, menurut dia, akan dijaga terus sampai September. "Mohon dukungannya mudah-mudahan bisa ditambahkan anggaran untuk 2020. Kalau enggak, kita minta ke BNPB atau asosiasi, karena di daerah ini ada kawasan konsesi hutan dan kebun dan lain-lain," kata Siti.

Hingga 22 Juni, lanjutnya, terdapat 870 titik panas terdeteksi. Angka tersebut berkurang jika dibandingkan dengan periode sama 2019, dimana jumlah titik panas tercatat mencapai 1.427.

Siti menjelaskan perihal dua pola titik panas di Indonesia selama ini. Model pertama menunjukkan titik panas banyak terjadi di sekitar Aceh dan Riau pada akhir Februari hingga memasuki Maret dan April. "Jadi ada fase kritis yang cukup gawat. Nanti berat lagi di Juli dan memuncak di Agustus dan September. Ini di seluruh Indonesia sama. Dengan mempelajari pola itu, KLHK bersama BPPT, BMKG dan TNI AU melakukan rekayasa hujan," ujar dia.

Dari TMC yang dilakukan pada 19 hingga 30 Mei 2020 menghasilkan 44 juta meter kubik (m3) air hujan. Ada efektivitas 36 persen, dengan curah hujan mencapai 157 milimeter (mm) dari prediksi 121 mm per hari di Riau. Ia mengatakan di Sumatera Selatan TMC menambah volume air sampai 50 juta m3. Sedangkan curah hujan mencapai 126 mm per hari, sehingga efektivitasnya mencapai 23 hingga 29 persen.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement