REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Empat petinggi bea dan cukai di Batam dan satu pengusaha ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung). Penetapan status hukum tersebut, setelah Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) meningkatkan status penyelidikan dugaan korupsi importasi tekstil yang melibatkan Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengungkapkan, lima tersangka tersebut yakni MM yang diketahui selaku kepala bidang pelayanan fasilitas kepabean di Batam. Tersangka lainnya, yakni DA, HAW, KA yang diketahui sebagai kepala seksi kepabean dan cukai, pada kantor bea cukai, Batam.
Sedangkan satu penguasaha yang ditetapkan tersangka, yakni IR yang diketahui pemilik PT Flaming Indo Batam (FIB), dan PT Peter Garmindo Prima (PGP). “Penetapan lima tersangka ini, didasarkan atas alat bukti yang sudah diperoleh oleh penyidikan, sebegaimana defenisi penyidikan yang sudah dilakukan,” kata Hari saat konfrensi pers di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, Rabu (24/6).
Hari menerangkan, kelima tersangka saat ini masih belum ditahan. Namu kata dia, penetapan status tersangka tersebut mendesak penetapan status pencegahan ke luar negeri terhadap kelimanya. Sejumlah aset terkait perkara, pun sudah dilakukan. Termasuk dengan melakukan penyegelan gudang milik PT FIB, dan PT PDP yang berada di kawasan Cakung, Jakarta Timur (Jaktim).
Kasus korupsi importasi tekstil, penyidikan baru yang dilakukan Dirpidsus Kejakgung, pada April sampai Mei 2020. Kasus ini terjadi pada periode 2018-2020. Kasus ini berawal dari temuan 27 kontainer berisikan tekstil milik PT FIB, dan PT PGP di kantor pelayanan bea cukai, Tanjung Priok, Jakarta Utara (Jakut). Namun, dalam penyelidikan, kontainer tersebut berisikan barang, dalam jumlah berlebih, dan jenis yang tak sesuai dalam surat izin masuk ke kantor pelayanan bea cukai Tanjung Priok.
Dikatakan terdapat kelebihan fisik milik PT PGP sebanyak 5.075 roll, dan PT FIB sebanyak 3.075 roll. Namun dalam penyelidikan lanjutan, ditemukan sebanyak 57 kontainer tambahan yang juga berisikan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi, serta jumlah yang tak sesuai administrasi importasi. Sampai proses penyidikan dilkakukan, kata Hari, tercatat ada sebanyak 556 kontainer milik PT FIB dan PGP berisikan tekstil berupa brokat, satin dan sutera impor yang tak sesuai dengan volume, dan jenis barang, serta titik tolak pelabuhan.
Dalam dokumen, importasi tekstil tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, di Inda. Pengangkutan ratusan kontainer itu, berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva Timur, Mumbai, India. Namun, dalam penyidikan kapal pengangkut ratusan kontainer itu, bertolak dari Hongkong, dan singgah di Malaysia. Barang tekstil yang menurut dokumen berasal dari India, pun diketahui berasal dari China. Setelah tiba, di Malaysia, kapal kontainer, berlabuh di Batam.
Saat singgah di Batam, jenis barang dalam ratusan kontainer tersebut ditukar dengan jenis kain yang berbeda. Yaitu, menggunakan kain jenis polister untuk selanjutnya kembali diangkut ke Tanjung Priok. Dugaan korupsi yang diyakini penyidikan di Kejakgung, terkait dengan pemberian izin untuk meloloskan barang-barang tersebut masuk ke bea cukai Batam, sebelum bertolak ke Tanjung Priok.
“Penyidik masih menghitung berapa besarnya kerugian negara dalam kasus ini,” kata Hari.
Ia mengungkapkan, sampai Rabu (24/6) petang, para tersangka masih dalam perjalanan untuk digelandang ke Kejakgung agar dilakukan penahanan. Hari pun menambahkan, selama penyidikan sementara ini, tim pada Dirpidsus, sudah memeriksa 49 nama saksi yang terdiri dari para pejabat tinggi bea cukai di Batam, dan Tanjung Priok, serta tiga ahli untuk mendefenisikan perbuatan dugaan korupsi para tersangka.