REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyinggung bahwa Mahkamah Konstitusi selama ini tidak pernah dilibatkan dalam membahas perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK. Tidak hanya kali ini, Arief Hidayat menuturkan, MK tidak pernah dilibatkan untuk dimintai pendapat saat UU Nomor 24 Tahun 2003 diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011.
"Kebetulan MK baru ramai akan ada revisi UU MK, masih ramai ini, tetapi selama ini lembaga yang akan diatur atau UU yang mengatur mengenai MK yang akan diubah itu, MK itu belum pernah diajak sama sekali," ujar Arief Hidayat dalam sidang lanjutan revisi UU KPK di Gedung MK, Rabu (24/6).
Kendati demikian, Arief memastikan MK sebagai pelaksana amanah UU MK siap melaksanakan UU. "Mau diatur kaya apa yang terserah saja, kami tidak usah ikut-ikut. Kalau kami ikut-ikut berarti kami nanti punya visi kepentingan kami masing-masing. Biarkan saja tidak dilibatkan, tidak masalah," tutur Arief Hidayat.
Sejumlah perubahan RUU MK dinilai koalisi lembaga masyarakat kontroversial serta kental nuansa konflik kepentingan, baik dari DPR mau pun pemerintah. Lantaran saat ini MK sedang menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil dan materi UU KPK dan uji formil serta materi UU Nomor 2 Tahun 2020 terkait kebijakan keuangan penanganan COVID-19 yang dihujani banyak kritik.
Selanjutnya isi RUU tersebut dinilai tidak substansial mengatur kelembagaan MK, melainkan hanya menyoal masa jabatan hakim konstitusi, yakni menjadi minimal 60 tahun. Terdapat isu yang dipandang lebih krusial, misalnya mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengaduan konstitusional dan pertanyaan konstitusional untuk mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara.
RUU MK juga dikritisi karena tidak pernah melibatkan masyarakat.