Rabu 24 Jun 2020 14:18 WIB

BMKG: Bangunan Tahan Gempa Jadi Kunci

Gempa di Yogyakarta dengan magnitudo 6,4 mengakibatkan 5.800 orang meninggal.

Kondisi rumah tahan gempa yang sudah jadi (ilustrasi)
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Kondisi rumah tahan gempa yang sudah jadi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, kunci utama keselamatan saat peristiwa gempa bumi adalah bangunan yang berkonstruksi tahan gempa. "Gempa bumi tidak membunuh dan melukai, tetapi bangunan roboh yang kemudian menimpa penghuninya adalah penyebab timbulnya korban jiwa," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, di Jakarta, Rabu (24/6).

Dia mencontohkan peristiwa gempa bumi kuat bermagnitudo 7,5 yang mengguncang Oaxaca, Meksiko, pada Selasa (23/6) malam. Jika tayangan video dan foto dampak gempa dicermati, tampak banyak gedung bertingkat yang mengalami guncangan dahsyat, tetapi tidak mengalami kerusakan parah atau roboh.

Dampak gempa Oaxaca hingga saat ini baru tercatat lima orang meninggal dunia. Kondisi dampak gempa tersebut sangat berbeda dengan dampak Gempa Yogyakarta 2006. Dengan kekuatan yang jauh lebih kecil, yaitu magnitudo 6,4, gempa Yogyakarta mengakibatkan korban jiwa lebih dari 5.800 orang.

Menurut Daryono, Meksiko sepertinya sudah lama menyiapkan struktur bangunan tahan gempa. Sementara itu, di Yogyakarta saat itu masih banyak bangunan yang di bawah standar aman gempa.

"Pelajaran terpenting yang dapat kita ambil, bangunan tahan gempa adalah kunci keselamatan yang paling utama dalam menghadapi gempa sehingga cepat atau lambat kita harus merealisasikannya," kata Daryono menambahkan.

Gempa di Meksiko terjadi dipicu deformasi batuan tepat di zona Megathrust Oaxaca. Lempeng Cocos yang mendasari Samudra Pasifik dekat Meksiko secara perlahan mendorong pantai Oaxaca ke arah timur laut dengan kecepatan 50 hinga 70 milimeter per tahun.

Pergerakan ini menjadi terkunci ketika berbenturan Lempeng Amerika Utara yang menjadi landasan daratan Oaxaca sehingga terjadilah akumulasi medan tegangan batuan tepat pada bidang kontak antara Lempeng Cocos dan Lempeng Amerika Utara. Tekanan kulit bumi di zona megathrust itu tampaknya sudah melampaui batas elastisitasnya hingga batuan tidak mampu lentur lagi sehingga patah dengan tiba-tiba selanjutnya memancarkan energi gelombang seismik.

Meksiko merupakan wilayah rawan gempa. Sudah banyak peristiwa gempa kuat yang melanda selama seabad terakhir seperti gempa pada 2017 (M 8,2), 2012 (M 7,4), 2003 (M7,5), 1995 (M 8,0), 1985 (M 8,0), 1932 (M 8,1), 1845 (M 7,9), dan 1786 (M 8,6).

Lebih lanjut, Daryono mengatakan, gempa Oaxaca bermagnitudo 7,5 tadi malam menarik untuk dicermati dan dapat diambil pelajaran bahwa gempa besar akan mengalami pengulangan atau periode ulang. Dengan demikian, daerah yang pernah mengalami gempa besar pada masa lalu dapat kembali dilanda gempa kuat pada masa yang akan datang.

Karena itulah, wilayah Indonesia yang memiliki catatan sejarah gempa kuat pada masa lalu wajib hukumnya membangun bangunan tahan gempa serta mengedukasi warganya bagaimana cara selamat saat terjadi gempa. "Ini penting sebagai upaya kesiapsiagaan dalam menghadapi kejadian gempa berikutnya," katanya.

Gempa kuat sangat berpotensi terjadi di kawasan seismik gap, yaitu zona sumber gempa aktif, tetapi sudah lama tidak terjadi gempa dahsyat. Seismik gap ibarat bom waktu gempa yang satu saat akan meledak dengan melepas energi gempa sangat besar.

Jika urutan sejarah gempa besar di Meksiko yang terjadi di sepanjang Subduksi Cocos dicermati, tampak bahwa gempa Oaxaca terjadi di kawasan yang selama ini "kosong" dari gempa besar. Untuk itu, zona megathrust dan sesar aktif di Indonesia yang selama ini segmennya belum mengalami gempa kuat perlu diidentifikasi untuk diwaspadai.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement