Selasa 23 Jun 2020 05:53 WIB

Maksimalkan Atase Polri untuk Deteksi Dini Peredaran Narkoba

Di Timur Tengah, Atase Polri hanya ada di KBRI Jeddah, Arab Saudi.

Narkoba jenis sabu-sabu (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Narkoba jenis sabu-sabu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas mengingatkan pentingnya memaksimalkan keberadaan Atase Polri dalam melakukan deteksi dini memerangi peredaran narkoba.

“Jalur baru (penyelundupan narkoba) semakin meningkat dari Timur Tengah. Penting membuat 'early warning system' dalam fungsi KBRI di negara-negara yang terindikasi (produsen narkoba). 'Early warning system' dengan fungsi interpol dan atase polisi,” kata Shiskha saat menjadi pembicara Webinar Series "Geopolitik dan Ancaman Transnasional Narkotika di Tengah Pandemi" yang diadakan Universitas Paramadina, Senin (22/6).

"Early warning system" Indonesia dalam mengatasi penyelundupan narkoba dari kawasan Timur Tengah, katanya, dapat dengan memaksimalkan keberadaan atase polisi di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sayangnya, katanya, di kawasan Timur Tengah, Atase Polri hanya terdapat di KBRI Jeddah, Arab Saudi.

"Di Timur Tengah yang baru ada atase polisi di Arab Saudi. Bagaimana dengan Iran," kata wanita yang akrab disapa Icha tersebut.

Icha menekankan pentingnya keberadaan atase polisi di perwakilan negara di luar negeri sehingga patut menjadi kajian atau pembahasan mendalam. Selain dapat menjadi sistem deteksi dini, katanya, atase polisi juga dapat membantu pemulihan hubungan bilateral Indonesia dengan negara lain, karena perbedaan politik negara.

Misalnya penerapan hukuman mati terpidana narkoba yang mengakibatkan sempat renggangnya hubungan dengan Brasil dan Australia beberapa waktu lalu. Menurut dia, saat ini jalur baru penyelundupan narkoba ke Indonesia semakin meningkat dari kawasan tersebut, khususnya dari Iran.

Ia menyampaikan pada 2020 saja penyelundupan sabu-sabu dari jaringan internasional Iran yang diungkap penegak hukum setidaknya melebihi 1,6 ton. Pernyataan Icha itu sebagaimana pemberitaan mengenai keberhasilan tim khusus Satgasus Merah Putih dalam pengungkapan penyelundupan sabu jaringan Iran di Sukabumi, Jawa Barat pada awal Juni 2020 dengan menangkap lima pelaku dan barang bukti 402 kilogram sabu.

Sepanjang 2020 setidaknya Satgasus Merah Putih yang kini dikepalai Brigjen Ferdy Sambo berhasil menggagalkan peredaran lebih dari 1,6 ton sabu-sabu. Selain pengungkapan 402 kg sabu-sabu di Sukabumi, dua kasus besar yang berhasil terbongkar yakni 288 Kg sabu di Serpong, Tangerang, pada 30 Januari, dan 821 kg sabu di Banten pada 25 Mei 2020.

Dalam kesempatan yang sama, Icha mengingatkan Polri dan instansi terkait untuk tak lengah terhadap penyelundupan narkoba, apalagi di tengah pandemi ketika seluruh negara di dunia tengah berupaya menstabilkan ekonomi yang terpuruk, termasuk Timur Tengah.

"Perlu antisipasi dan kebijakan untuk antisipasi. Saat ini yang sudah bisa dilakukan Indonesia adalah mencegat. Trendnya meningkat, hampir menyentuh 1,7 ton sabu dari Iran beberapa waktu terakhir," katanya.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Irine Gayatri menyebutkan selama ini perempuan rentan menjadi korban dalam industri narkoba, baik digunakan sebagai kurir hingga sasaran penyalahgunaan agar pangsa pasar tetap besar.

"Perempuan rentan menjadi korban. Tidak hanya di Asia, tapi juga Eropa dan Amerika Latin. Mereka (perempuan) menjadi transporter," tegas kandidat doktor dari Monash University, Australia tersebut.

Sementara psikolog yang juga menjadi Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Tia Rahmania menyampaikan pesan pentingnya penanganan lanjutan bagi para pecandu yang telah menjalani rehabilitasi agar tak terjerumus kembali ke lingkaran setan narkoba.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement