REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Pemuda OKI Indonesia (Youth on Organization of Islamic Cooperation) Syafii Efendi menilai Rancangan Undang-Undang (RUU HIP) merupakan kemunduran dalam berbangsa mengingat Pancasila sebagai ideologi tidak perlu diperdebatan lagi. Justru yang terpenting bagaimana mengamalkan lima sila dalam Pancasila dengan maksimal.
“RUU ini minim substansi, urgensinya tidak terlalu mendesak. Justru terlihat memperuncing luka lama, terutama lenyapnya Tap MPRS XXV tahun 1996 tentang larangan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau komunisme,” ujarnya, Selasa (16/6).
Ia menegaskan, seharusnya pemerintah merancang aturan yang aplikatif dalam menerapkan Pancasila dan prinsip konstitusi agar lebih berdampak positif bagi kemajuan bangsa. Terlebih saat ini, wabah korona belum jelas kapan waktu berakhirnya.
Syafii justru melihat adanya kemungkinan dalam RUU ini menyusupkan ideologi tertentu. Sehingga bukan tidak mungkin jika aturan ini disahkan berpotensi memicu pertumpahan darah sesama anak bangsa seperti masa silam, serta juga malah dapat terjadinya kerancuan dalam sistem tata negara dan pemerintahan.
“Pancasila sudah final, lebih baik mendorong bagaimana nilai-nilai ini dirasakan masyarakat secara luas,” katanya.
Dalam RUU ini, Pasal 7 ayat (2) tertulis bahwa Pancasila merupakan trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan). Ayat 2 nya menyebut trisila termanifestasi pada Ekasila, berupa gotong royong. Sehingga dari situ bangsa ini seolah mundur kembali ke masa di mana perumusan awal Pancasila, sebagaimana kali pertama didengungkan Soekarno di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
“Bangsa ini seolah diajak mundur bukan menyambut kemajuan. Saya meminta pemerintah dan DPR meninjau ulang RUU ini, sebab dapat menjadi kontraproduktif di masa yang akan datang, dan sejarah pahit mungkin saja dapat terulang. Masih banyak masalah kebangsaan yang butuh penyelesaian," kata dia.