REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rr Laeny Sulistyawati
Sebanyak 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal negara China, dalam waktu dekat akan masuk di Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka akan bekerja di salah satu perusahaan pertambangan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) Morosi Kabupaten Konawe.
Setelah pada akhir April lalu kompak menolak, Gubernur Sultra Ali Mazi dan DPRD Sultra saat ini siap menyambut kedatangan bertahap ratusan TKA China yang akan dimulai pada akhir Juni. Ali Mazi pun menjelaskan alasan mengapa dirinya saat ini bersedia menerima kedatangan TKA China.
"Karena mereka menggunakan produk dari China, bahasanya China. Semua kita kan ndak bisa dan satu tenaga kerja asing itu di-backup lima sampai tujuh orang kita (pekerja lokal)," kata Ali Mazi di Kendari, Senin (16/6).
Selain itu, Ali Mazi juga menyampaikan bahwa kedatangan ratusan TKA tersebut, selain dapat menyerap ribuan pekerja lokal, juga dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Ia pun menyinggung nilai investasi perusahaan China di Sultra sebesar Rp 42 triliun.
"Mereka datang berinvestasi dan investasinya enggak tanggung-tanggung Rp 42 triliun. Kita punya APBD saja cuma Rp 4,2 triliun. Nah kita harus jaga kalau seperti itu," tutur Ali Mazi.
Menurut Ali Mazi, para TKA tersebut telah diizinkan datang ke Sulawesi Tenggara karena mereka telah memenuhi persyaratan dan telah diizinkan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, pihaknya berpikir positif saja atas kedatangan TKA China itu.
"Jadi, kita enggak usah berprasangka, kita positif saja. Berpikir mereka datang ini untuk membangun daerah ini, yang penting itu," tegas Ali Mazi.
Sementara itu, Ketua DPRD Sultra Abdurrhaman Saleh mengungkapkan, pemerintah daerah tidak akan menghalangi lagi masuknya TKA tersebut. Karena, menurut Abdurrahman, sepenuhnya tanggung jawab pemerintah pusat.
"Namun, perusahaan yang membawa TKA tersebut, sebaiknya terlebih dulu dievaluasi kepatutan perusahaannya, kontribusi perusahaan kepada daerah, termasuk peran perusahaan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar atau local wisdom," kata Abdurrahman, di Kendari, Senin.
Abdurrahman mengatakan, bahwa ketika para TKA asal China tersebut tiba di Sultra, mereka harus dicek ulang, apakah mereka tenaga ahli atau bukan, termasuk visa yang digunakan visa kerja atau kunjungan. Ketika mereka bekerja harus mengikuti protokol kesehatan, yakni menjalani karantina dan uji usap Covid-19 serta memprioritaskan tenaga kerja lokal.
"DPRD dalam taraf bukan membolehkan atau tidak. Jika dia (para TKA) sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan sebagaimana surat kami kepada Presiden, yaitu regulasinya, kemudian pastikan visanya. Begitu tiba di daerah ini cek visanya, visa kunjungan atau tenaga kerja, itu bisa dicek langsung," kata ARS sapaan akrabnya.
Abdurrahman menegaskan bahwa pihaknya bukan anti-investasi, tapi pemerintah harus melakukan evaluasi dengan ketat. Jangan nanti, seolah-olah Covid-19 negatif, tapi ada persoalan baru lagi yang muncul di perusahaan.
"Investasi kita harapkan, karena itu salah satu indikator kemajuan daerah kita, tapi investasi yang benar adalah mengikuti regulasi aturan yang ada dan pemerintah harus melakukan kontrol dengan baik, apakah perusahaan yang bersangkutan ini sudah melaksanakannya dengan benar atau tidak," ujar Abdurrahman.
Maksimal enam bulan
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyatakan, 500 TKA dari China yang rencananya bekerja di Sultra maksimal hanya akan bekerja selama enam bulan. Setelah itu, TKA ini kembali ke negaranya dan jika melanggar bisa dideportasi ke negaranya.
Menurut Plt Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK) Kemenaker Aris Wahyudi, dalam rapat yang diinisiasi Menteri Koordinator Bidang Maritim Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan pemangku kepentingan yang tergabung di forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) disepakati untuk memperbolehkan TKA China masuk ke Indonesia.
"Mereka kan orang asing yang baru masuk Indonesia dan bekerja di jangka pendek, maksimal hanya selama enam bulan. Sebab, izin yang kami berikan hanya selama itu," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (16/6).
Kemudian, dia melanjutkan, izin tinggal para TKA ini tidak diperpanjang dan harus kembali ke negaranya. Terkait pengawasan para TKA ini selama bekerja di Sultra, dia menambahkan, pihaknya telah menerjunkan aparat itu yaitu pengawas ketenagakerjaan.
"Jadi setelah enam bulan kemudian apakah para TKA pulang atau tidak maka itu di tangan imigrasi. Karena kalau izinnya hanya enam bulan dan melebihi kan izinnya overstayer, jadi harus dideportasi," ujarnya.
Aris menambahkan, 500 TKA ini akan tinggal di tempat dormitory yang disediakan dan difasilitasi perusahaan. Sebenarnya, ia mengaku perusahaan yang harus menyediakan tempat tinggal sementara untuk para TKA ini harus mengeluarkan uang lebih banyak.
Di satu sisi, ia mengaku kalau para TKA ini tidak didatangkan ke Tanah Air maka pekerjaan akan mangkrak atau terganggu. Efek domino lainnya, dia melanjutkan sekitar 11 ribu pekerja Tanah Air bisa terdampak dan dirumahkan. Sebab, ia menyebutkan tenaga kerja lokal Indonesia belum bisa melakukan pekerjaan TKA karena mesin yang digunakan baru.
Selain bisa menyelesaikan persoalan manajerial, ia menyebut kehadiran TKA ini juga bisa dimanfaatkan pekerja Indonesia untuk transfer pengalaman dan pengetahuan. Artinya, Orang Indonesia harus bisa familiar dengan pekerjaan mereka dan menggantikannya ketika TKA pulang ke negaranya.