Ahad 14 Jun 2020 13:33 WIB
Pancaisla

Nasakom adalah Kebenaran: Pidato Sukarno bagian pertama (1)

Isi padto Sukarno Nasakom adalah kebenaran

Sukarno berpidato di Senayan.
Foto: Google.com
Sukarno berpidato di Senayan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Inilah pidato Bung Karno soal Nasakom ketika pada puncak kekuasaannya, yakni pada pertangahan dekade 1960-an. Pidato tersebut berjudul 'Nasakom adalah Benar'.

Naskah pidato ini kami dapatkan dalam bentuk versi PDF sebagai hasil coppy-an arsip yang tersimpan dalam mikro film. Pidato ini termuat dalam buku tipis dengan bagian tulisan di judul sampulnya yang panjang, yakni 'Nasakom adalah Benar Amanat Indoktrinasi PJM (Paduka Jang Mulia) Presiden Sukarno Pemimpin Besar Revolusi Bapak Marhaenisme Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom Tanggal 1 Juni 1965, di Istana "Bung Karno", Senajan, Djakarta.

Naskah ini dijadikan buku dan kemudian diperbanyak  oleh penerbit 'Dewi Naga'. Dalam kata pengantar, buku ini dipersembahkan  oleh seorang bernama  Durhaeni Lutfi, yang menyebut dirinya sebagai  'Kader Nasakom' sekaligus Ketua DMI (Dewan Marhaen Indonesia,red) DKI Jakarta. Dalam sampul buku itu juga disebutan bahwa naskah pidato ini telah disesuaikan dengan penerbitan khusus Departemen Penerangan N0 373.

Dalam kata pengantarnya Durhaeni Lutfi menulis begini juga:"Mudah-mudahan meratalah masalah Amanat yang penting ini ke segenap insani Indonesia bersama-sama menjaga Conefo, Conefo adalah puncak dari kita punya kemenangan yang pasti terwujud di Indonesia tahun 1966."

Isi pidato Presiden Sukarno yang berjudul 'Nasakom adalah Benar', selengkapnya begini dengan dengan tidak merubah ejaan bahasa Indonesia. Pidato itu sengaja dipecah dalam bentuk beberapa tulisan karena keterbatasan halaman. Ini adalah seri pertama (1),

------------------

Saudara-saudara sekalian

Kita sekarang ini sudah hampir dua-puluh tahun merdeka. t7 Agustus '45 kita mengadakan proklamasi dan insja Allah 17 Agustus tahun ini kira akan dua-puluh tahun merdeka. Dan

kemerdekaan itu adalah hasil daripada perdjoangan jang bukan dua-puluh tahun, tetapi hasil dari perdjoangan jang lebih pandjang daripada dua-puluh tahun itu, tergantung dari tjara kita menghitungnja; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun"

Kalau kita sekedar mulai dengen tahun 1908, permulaan kita rnengadakan organisasi modern, pergerakan, jaitu dengan berdirinja Budi Budi Utomo, maka antara tahun '08 dan '45 adalah 37 tahun. Tetapi djikalau kita hitung dari sejak sultan Agung, -Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung, ada Sultan Agung dari Mataram, Jogjakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanja pedjoang; Sultan Agung dari Jogja itu dinamakan atau hajejuluk, menamakan diri, sultan Agung Hanjokrokusumo atau Sultan Agung Tjokrokusufiro; sultan Agung  yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtajasa, beliau kan membuat kolarn indah, pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtajasa, jikalau kita hitung perjuangan kita untuk mentjapai kemerdekaan sedjak daripada saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Djakarta, atau Sultan Agung Tirtjasa rnenggempur Djakarta, maka perdjoangan kemerdekaan kita itu adalah lebih abad. Sultan Agung dua itu diikuti  oleh pedjoang jang lain, oleh Suropati, Dioko Untung Suropati, diikuti oleh Sultan Hasanuddin,
oleh Tuanku Imam Bondjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Clik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita jang terkenal diabad ke-20 ini; maka total perdjoangan kita adalah lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus '45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saja kupas, apa sebab perdjoangan-perdjoangan jang terdahulu, Sultan Agung Hanjokrokusumo, Sultan Agung Tirtajasa, Suropati, Trunodjojo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Tjik Ditiro, Diponegoro dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kckuasaan Belanda atau imperialisme  Belanda dari Indonesia.

Maka djawab saya ialah, karena Sultan Agung Hanjokrokusumo, Sultan Agung Tlrtajasa, Trunodjojo, Suropati, Hasanuddin, Teuku lJrnar, Teuku Tjik Ditiro, Tuanku Imam Bondjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainja itu, perdjoangannja tidak didasarkan atas persatuan dan kesatuan perdjoangan daripada seluruh Rakjat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro mendjalankan ia punja perdjoangan, ia tidak berhasil mernerdekakan Indonesia.

Oleh karena perdjoangannja hanja disandarkan atas kekuatan rakjat hanja dipulau Djawa sadja. Bagaimanapun hebatnja Sultan Hasanuddin berdjoang, - demikian hebatnja sehingga Cornelis Spoelman menamakan dia "de jonge haan van het Oosten", "ajam djantan muda di alam Timur"; notabene ajam djantan muda itu djuga salah satu titel dari salah seorang radja kita jang hebat, jaitu Hajam Wuruk, Madjapahit, Hajam Wuruk artinja ajam jantan muda; Speelman menamakan' Sultan Hasanuddin "de jonge haan", Hajam Wuruk --, tetapi toch perdjoangannja tidak berhasil, tidak berhasil rnengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas kekuatan seluruh Rakjat. Indonesia.

Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. Ini harus mendjadi peladjaran bagi kita, peladjaran jang sudah ditarik oleh kita sedjak tahun dua puluh enam yaitu peladjaran bahwa perdjoangan kita, perdjoangan kita kemerdekakan Indonesia, harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan Rakjat Indonesia seluruhnja, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama) tidak mengenai waktu.

Kita pada hari ini memperingati hari lahirnja Pantjasila, 1 Djuni 1955. Ja rnemang, pada tanggal I Djuni 1965, dus sebelum kita mengadakan proklamasi hernerdekaan lndonesia, saja telah membuat pidato rnengusulkan Pantjasila kepada pemimpin-pernirnpin Indonesia, agar supaja Pantjasila itu didjadikan dasar negara lndonesia Merdeka. Dan, Saudara saudara, tatkala saja memikir-mikirkan apa jang akan aku usulkan kehadapan para pemimpin Rakjat Indonesia, satu hal jang mendjadi pegangan teguh bagi saja, jaitu bahwa persatuan Indonesia, kesatuan lndonesia-lah, pokok dari pada segala pokok.

Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu, dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan pidato Pantjasila, telah mendjadi kejakinan didaiam kalbuku, kejakinan, ainui-jakin, hakkul-jakin. bahwa kemerdekaan kita jang akan datang itu hanja dapat dipertahankan abadi, djikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan  daripada bangsa Indonesia.

Lebih Dahulu aku memberi pendjelasan, Ini saja melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu, --menyebutkan ilmul-jakin, ainul-jakin, hakkul-jakin-- kelihatan bersinar-sinar- tetapi mengandung pertanjaan, Apa bedanja ilmul-jakin dan ainui-jakin dan hakkul-jakin ? hakkul-jakin itu kejakinan jang sudah sejakin-jakinnja, itu hakkul-jakin. Inul-iakin itu hanja kejakinan sepandjang pikiran, sepandjang 'ilm, sepandjang iimu. Tempo hari disini saja pernah melukiskan sebagai berikut : Aku berdiri disini, umpamanja aku berdiri di 'sini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku  berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku jakin tatkala aku menyatakan bahwa di belakang kampun itu ada apii.a

Tapi mungkin, jah mungkin, matakulah jang salah, mataku "sedang menderita penjakit yang dinamakan penjakit hallucinatie, melihat barang tetapi sebetulnja tidak ada" -- Mengira melihat asap, tetapi sebetulnja tidak ada, sebagaimana, orang dipadang pasir, djikalau panasnja sepanas-panasnja dan
 sedang menderita dahaga, jauh matanya melihet di tepi la
ngit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia-punja mata melihat telaga.

Itu jang biasa dinamakan fatamorgana. Djadi si-orang itu melihat fatamorgana, bahhwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sedjuk dan dia jang menderita dahaga itu bukan main, ja, ingin minum air telaga itu, terus dia lari  kesana, tetapi lari punja lari, tidak ada telaga berair sedjuk disana itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement