Kamis 11 Jun 2020 05:25 WIB

Ini Alasan KPI Dorong Revisi UU Penyiaran 

UU Penyiaran tidak dapat mengakses jika ada permasalahan di media baru.

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengingatkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran penting untuk memperkuat fungsi pengawasan seiring berkembang pesatnya teknologi. Aturan dalam UU Penyiaran sekarang tidak dapat mengakses dan menindak tegas jika ada permasalahan di media baru.

Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan permasalahan di media baru banyak dipertanyakan publik dan dikeluhkan media penyiaran atau media mainstream. "Rasanya tidak adil jika siaran media penyiaran diperlakukan ketat atau berbeda karena ada pengawasan dan naungan regulasi yang memayungi," kata , dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu (10/6).

Baca Juga

"Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan. Apalagi sudah banyak negara yang masuk ke media baru,” kata Andre.

Hal tersebut disampaikannya di sela-sela diskusi daring yang digelar Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) bertajuk "RUU Penyiaran dan Prospek Industri Penyiaran Indonesia". UU Penyiaran yang telah berusia 18 tahun dinilai sangat tertinggal dengan kemajuan teknologi serta berkembangnya media baru pada saat ini.

Karena itu, ia menekankan pentingnya pembahasan sesegera mungkin revisi UU tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, mengesahkan menjadi UU baru sebagai solusi untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut.

Andre menegaskan KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti. Selain terlebih dahulu diberi penguatan pada kelembagaan KPI dan KPID secara sistematis, utuh dan tegas.

Bahkan, kata dia, KPI juga akan mengalami perubahan menjadi AI (artificial intelligence) ketika masuk dalam teknologi baru tersebut.

Menurut Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019 tersebut, pengawasan terhadap media baru sangatlah krusial.

Sebab, konten dalam media baru belum sepenuhnya aman yang dikhawatirkan justru berdampak lebih buruk terhadap publik, khususnya anak dan remaja. Alasan itu selain untuk memberi perlakuan yang sama dengan media yang sudah ada.

"Kita tahu ada layanan tontonanstreamingyang menyediakan film-film berkualitas, tapi apa sudah sesuai dan pantas dengan budaya dan adat kita? Apa yang mereka sampaikan belum disaring sesuai dengan kultur bangsa kita. Kami apresiasi Komisi 1 DPR yang sudah menstimulasi perkembangan RUU Penyiaran," katanya.

Jika KPI diberi kewenangan oleh UU baru, lanjut Andre, akan dibuat batasan untuk konten asing terhadap konten lokal. "Batasan ini agar tidak terjadi dominasi siaran asing. Minimal 60 persen untuk ketersediaan konten lokal dalam siaran," ujarnya.

Terkait produksi konten, Andre memandang penting keterlibatan pemerintah terhadap usaha-usaha pembuat konten lokal sehingga konten agregrator atau penyedia diberikan dukungan berupa subsidi berkesinambungan dari pemerintah. "Kami sangat peduli dengan urusan konten. 'The king is content'. Ini menjadi konklusi industri ke depan," katanya.

Kalangan industri penyiaran saat ini sangat bergantung dengan akselerasi proses pembahasan kembali revisi UU Penyiaran di DPR. Hal itu agar dapat bersaing secara adil dengan media baru dan memberi perlindungan terhadap usaha mereka. 

Harapan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution. Bahkan, ATVSI meminta pemerintah dalam menyusun RUU Penyiaran memasukkan aturan untuk menjamin keberlangsungan industri televisi yang sudah lama eksis.

"Dengan banyaknya televisi tentunya iklim kompetisi di televisi ini sangat ketat. Nah kami berharap dengan UU yang baru nanti, televisi-televisi eksisting ini tidak menjadi seperti kata Pak Menteri menjadi 'sunset' atau menjadi suatu bisnis yang mati karena begitu besarnya investasi ditanamkan ditelevisi ini," tutur Syafril dalam ruang diskusi yang sama.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johhny G Plate mendukung upaya revisi dan pengesahan UU Penyiaran baru agar dipercepat untuk mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia. "Digital itu harus karena untuk kepentingan bangsa dan negara," katanya.

Anggota Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan revisi UU Penyiaran memang diperlukan. Ia menggambarkan substansi RUU akan sangat berkaitan dengan hal yang bermanfaat bagi berbagai pihak.

"Akan adanya perlindungan hukum bagi pelaku industridan juga masyarakat. RUU ini harus membuat dan menumbuhkan lapangan kerja baru," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR lainnya, Dave Laksono, menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran, serta memandang perlu adanya pajak untuk platform digital.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement