REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia
Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya telah habis pada 8 Juni dan tidak diperpanjang, meski Surabaya masih berada dalam zona merah Covid-19 di Jawa Timur (Jatim). Sebagai ganti dalam upaya pengendalian Covid-19, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama jajaran kepolisian memasifkan pembentukan Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo yang dibentuk di tingkat RW.
Selain membentuk Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga mewacanakan pembentukan Mal Tangguh, Tempat Ibadah Tangguh, dan Pasar Tangguh. Jika semua ini bisa dilakukan, menurutnya penyebaran Covid-19 di Kota Surabaya bisa ditekan.
“Saya percaya ini bisa ditekan, saya yakin itu,” ujar Risma di Surabaya, Rabu (10/6).
Risma mengakui, penyebaran Covid-19 di Surabaya memang masih terjadi. Namun, pihaknya terus menelusuri dengan cara menggelar rapid test dan tes swab massal. Nantinya, kata dia, jika ditemukan ada yang reaktif atau positif, pihaknya bisa langsung mengambil langkah untuk menekan penyebarannya tersebut.
“Nah, yang kita lakukan kalau ditemukan positif adalah diobati ke rumah sakit, atau diisolasi di hotel atau di Hotel Asrama Haji,” ujar Risma.
Selain itu, kata dia, yang juga penting adalah di sekitar kampung yang ditemukan positif Covid-19 itu, harus dijaga supaya tidak semakin menularkan kepada masyarakat lainnya. Sebab, di Surabaya ini sangat banyak kampung padat penduduk dengan risiko penularannya yang sangat tinggi. Risiko tersebut yang menurutnya harus diantisipasi.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, hingga saat ini sudah terbentuk sebanyak 1.340 Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo. Ia memastikan, jumlah itu akan bertambah setiap harinya.
“Jadi, sudah hampir semuanya yang membentuk kampung tersebut,” kata Irvan.
Pakar epidemologi Universitas Indonesia Prof. Pandu Riono menilai, PSBB di Surabaya Raya tidak seharusnya diterapkan dalam skala kota atau kabupaten. Namun, lebih tepat jika diterapkan dalam skala lebih kecil seperti berbasis komunitas, lingkup kampung, atau RW.
"Sebab, penerapan PSBB skala kota atau kabupaten dampak yang ditimbulkan juga begitu besar. Salah satunya aspek ekonomi dan sosial di masyarakat," kata Pandu, Selasa.
Menurut Pandu, PSBB berskala komunitas akan lebih substansial. Karena yang menjaga, yang mengawasi, dan menjalankannya adalah anggota komunitas. Sehingga, pemerintah daerah hanya memberikan bantuan yang diperlukan kepada kebutuhan spesifik tertentu.
Pandu menyatakan, ketika PSSB diterapkan dalam skala komunitas, maka protokol-protokol kesehatan harus tetap berjalan. Seperti tidak bepergian jika tidak ada keperluan. Kemudian, keluar rumah harus menggunakan masker, serta rajin mencuci tangan.
“Supaya kita membuat virus itu tidak pergi dari satu orang ke orang lain. Jadi kewajibannya adalah semua masyarakat wajib menggunakan masker bila keluar. Itu vaksin yang kita punya,” kata dia.
Surabaya belum aman
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, berdasarkan kajian tim epidemiologi dari FKM Unair menyebutkan, tingkat attack rate Covid-19 di Surabaya masih tinggi, yaitu di angka 94,1. Sedangkan untuk Kabupaten Gresik sebesar 15,8, dan Kabupaten Sidoarjo sebesar 31,7.
Khofifah melanjutkan, untuk rate of transmission (RT) atau tingkat penularan dengan indikator bilangan reproduksi efektif di kawasan Surabaya Raya memang sudah ada tren penurunan. Di mana saat ini RT di kawasan Surabaya Raya sebesar 1,1. Rinciannya, Kota Surabaya mempunyai Rt sebesar 1,0, Kabupaten Sidoarjo sebesar 1,2 dan Kabupaten Gresik sebesar 1,6.
Akan tetapi, kata dia, sesuai pedoman WHO dan Bappenas, kriteria terkendalinya wabah Covid-19 di suatu daerah, maka Rt harus di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut. Artinya, item pertama untuk penerapan era kenormalan baru (new normal) di Surabaya Raya belum terpenuhi.
"Saat ini seluruh kawasan Surabaya Raya belum di bawah 1 (Rt-nya). Sehingga sejatinya item pertama ini belum terpenuhi dan belum aman," kata Khofifah di Surabaya, Selasa (9/6).
Begitu juga dengan item kedua, yaitu adanya kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat yang dirasanya belum aman. Di mana saat ini, kata dia, untuk wilayah Surabaya Raya masih belum tercukupi ketersediaan bed dibanding pasien yang harus dilayani.
Kemudian ketiga, minimalisiasi risiko pandemi dengan asesmen risiko penularan. Keempat, penegakan protokol kesehatan di fasilitas publik dan lingkungan kerja, kelima pengelolaan kasus impor dan ko-morbid (penyakit penyerta) dilakukan dengan baik, dan keenam melibatkan partisipasi dan keterlibatan publik dalam pengendalian pandemi.
"Pada dasarnya Surabaya Raya belum aman dan butuh kesabaran untuk bisa melangkah ke masa transisi menuju new normal. Tetapi bahwa ada komitmen bersama yang tinggi dari tiga kepala daerah untuk mampu menegakkan protokol kesehatan dan juga tinjauan aspek sosial dan ekonomi," ujar Khofifah.
Oleh karena itu, lanjut Khofifah, Forkopimda Jatim menyepakati untuk Surabaya Raya masuk masa transisi new normal dalam kurun waktu 14 hari. Itu juga dikuatkan dengan penandatanganan pakta integritas.
Pakta integritas ini akan menjadi format pengawalan bersama upaya-upaya yang dilakukan pemda kawasan Surabaya Raya dalam mencapai kondisi yang memenuhi syarat WHO untuk suatu daerah bisa menerapkan new normal.
"Forkopimda Jatim meminta ada penegasan dan pendisiplinan terkait penerapan protokol kesehatan. Sebab Forkopimda Jatim tidak ingin adanya pelonggaran restriksi justru akan menyebabkan euforia di masyarakat sehingga berpotensi adanya second wave penularan Covid-19," kata Khofifah.