Rabu 10 Jun 2020 00:50 WIB

IDI Sebut Bahaya Jika Masyarakat Tolak Rapid Test

IDI meminta agar masyarakat tidak tabu dan takut terhadap test Covid-19.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Adib Khumaidi (kanan)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Adib Khumaidi (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi demonstrasi penolakan rapid test Covid-19 oleh ratusan warga Desa Kedak, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur menjadi sorotan publik. Para demonstran menegaskan tidak perlu dilakukan rapid test karena mereka merasa sehat wal afiat. Sebab mereka mengklaim sehat dan sudah menjalani isolasi mandiri selama dua pekan.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Adib Khumaidi meminta agar masyarakat tidak tabu dan takut terhadap test Covid-19. Karena rapid test hanya sebagai skrining awal virus Covid-19 dalam tubuh melalui sampel darah. "Memang validitasnya hanya sekitar 70 persen untuk memberikan informasi adanya imunoglobulin atau IgM dan IgG dalam tubuh manusia. IgM dan IgG itu antibodi yang dihasilkan tubuh saat terpapar virus," ungkap Adib saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/6).

Baca Juga

Adib menjelaskan, jika hasil dari rapid test menunjukkan positif, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan swab test yang menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Test Swab tersebut dilakukan untuk memastikan IgM dan IgG diproduksi karena Covid-19 bukan virus lain. Maka sebenarnya, rapid test sangat penting untuk skrining awal, misalnya jika seseorang ingin bepergian.

"Jika tidak ada skrining di awal, dan dia umpamanya terpapar terus bepergian. Tentu berpotensi akan menjadi sumber penularan nanti malah lebih ribet harus di tracing lagi satu persatu, tentu ini sangat bahaya," tegas Adib

Selain itu, lanjut Adib, jika hasil rapid test-nya sebetulnya belum tentu dia benar-benar positif Covid-19. Maka hal itu harus dijelaskan kepada masyarakat yang menolak dilakukan rapid test tersebut. Menurutnya, ada sebagian masyarakat yang masih takut. Karena mereka beranggapan jika hasilnya positif bakal dikucilkan dan stigmanisasi itu masih terjadi tengah-tengah masyarakat.

"Jadi masarakat ini masih belum paham terkait dengan Covid-nya itu sendiri. Jika hasil rapid test positif tapi tidak ada gejala, paling tidak hanya disuruh untuk isolasi menjaga jarak itu dilakukan agar orang lain tidak tertular," tutup Adib. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement