REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Amanat Nasional (PAN) mengaku tak setuju dengan usulan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar tujuh persen. PAN ingin keterwakilan suara dari berbagai pihak dapat ditampung oleh partai politik.
"Jadi siapapun yang memberikan suara harus dihargai dan harus didengar suaranya dan diperjuangkan," ujar Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno saat dihubungi, Senin (8/6).
Jika PT dinaikkan, ia khawatir makin banyak suara masyarakat yang hangus. Sebab, kata Eddy, terdapat 13,5 juta suara yang tidak bisa terwakili di DPR RI karena partai tidak lolos pada pemilihan umum (Pemilu) 2019.
"Kita ingin tetap mempertahankan itu empat persen. Karena dengan empat persen, rasanya suara-suara masyarakat konstituen sudah terwakili dengan baik," ujar Eddy.
PAN siap berdiskusi dengan partai lain dalam menentukan besaran PT serta mencari titik temu terbaik dalam menentukan batasan untuk masuk ke parlemen. "Pada intinya PAN siap menjalin dialog dengan partai-partai untuk mencari formula terbaik. Tetap berdasarkan konsep bahwa suara-suara itu terwakili di lembaga legislatif," ujar Eddy.
Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad M Ali mengatakan fraksinya mengusulkan ambang batas parlemen dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebesar tujuh persen. Namun, masih terbuka dialog untuk mendiskusikannya.
Dia mengatakan kenaikan ambang batas parlemen berjalan konsisten dari tiap pemilu dengan tujuan untuk merampingkan jumlah partai politik dan memperkuat sistem presidensial. Karena itu, menurut dia, kenaikan ambang batas parlemen tersebut bukan untuk kepentingan Fraksi Nasdem, melainkan untuk perbaikan demokrasi di Indonesia.
"Ini kalau tidak dibatasi maka tidak menutup kemungkinan orang akan bisnis dan mendirikan partai politik dengan modal Rp50 miliar lalu 'jualan' sekian, itu fungsi pembatasan ambang batas parlemen," ujarnya.