REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bambang Noroyono dan Ronggo Astungkoro
JAYAPURA — Majelis Rakyat Papua (MRP) meminta pemerintah melakukan intervensi hukum terkait nasib tujuh aktivis Papua. Ketua MRP Matius Murib menegaskan, ancaman hukuman berat terhadap tujuh aktivis tersebut, jauh dari kemestian yang adil.
Murib khawatir, pemenjaraan terhadap tujuh aktivis tersebut, menanam dinamit baru di Bumi Cenderawasih yang disebabkan dari kewenangan hukum terhadap Orang Asli Papu (OAP). “Kami di MRP, menghendaki harus ditinjau kembali. Kemudian keputusan terakhir harus dibebaskan. Harus dibebaskan. Kami (MRP) meminta pemerintah harus membebaskan tujuh aktivis Papua itu,” kata Murib kepada Republika, Senin (8/6).
MRP adalah lembaga representatif kultural resmi orang asli Papua. Merujuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, kedudukannya setara dengan DPRD.
Desakan MRP ini menyikapi kelanjutan persidangan terhadap tujuh aktivis antirasisme Papua yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim). Dalam persidangan, tujuh aktivis tersebut, dituntut hukuman berat terkait aksi demonstrasi yang mereka lakukan di Papua 2019. Tujuh aktivis tersebut, yakni Bucahtar Tabuni yang dituntut 17 tahun penjara.
Aktivis lainnya, Agus Kossay dan Stafanius Itlay, masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Lainnya, Alexander Gobay, dan Ferry Kombo masing-masing dituntut selama 10 tahun penjara. Dua aktivis lagi, yakni Irwanus Uropmabin, dan Hengky Hilapok yang dituntut masing-masing selama 5 tahun penjara. Selain dituduh terlibat terlibat dalam demonstrasi antirasisme yang berujung kerusuhan, tujuh aktivis yang merupakan OAP itu, juga dituduh dengan pasal-pasal makar.
Tuntutan terhadap tujuh aktivis tersebut, terbilang berat. Namun Murib justru menilai, tuntutan tersebut sebagai aksi penegakan hukum yang serampangan. Sebab kata dia, jika merunut persoalan, para aktivis tersebut sebetulnya, merupakan korban. Para aktivis itu, kata dia, OAP yang menyuarakan penentangan terhadap aksi rasisme yang dilakukan oknum di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) terhadap mahasiswa Papua pada Agustus 2019.
Dalam kejadian tahun lalu itu, asrama mahasiswa Papua disatroni sejumlah warga, bahkan oknum tentara. Saat itu, sejumlah warga, dan oknum tentara memaki, dengan sumpah serapah yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua. Insiden tersebut, dianggap sikap rasisme terhadap mahasiswa Papua di Tanah Jawa. Insiden itu pula yang memicu gelombang unjuk rasa OAP di seluruh Bumi Cenderawasih untuk menolak sikap rasisme terhadap orang-orang Papua.
Insiden unjuk rasa itu, memang berujung kerusuhan dan menimbulkan korban jiwa. Akan tetapi, Murib melanjutkan, aksi tersebut sebetulnya reaksi untuk menuntut keadilan atas sikap rasisme yang dialami orang-orang Papua di Jawa. Meskipun, Murib melanjutkan, pelaku rasisme di asrama Papua itu juga dihadapkan ke pengadilan.
Namun, menurut Murib pelaku rasisme tersebut mendapatkan hukuman yang tak sebanding ketimbang ancaman hukum terhadap para tujuh aktivis Papua. Pelaku rasisme di asrama Papua, hanya dituntut delapan bulan kurungan. Pun sekarang, sudah dibebaskan. Sebaliknya, ancaman hukum terhadap tujuh aktivis Papua yang menyuarakan diri sebagai korban rasisme, terancam penjara 5 sampai 17 tahun.
“Ini membuktikan bahwa ada perbedaan hukum di Indonesia. Lebih khusus terhadap Orang Asli Papua. Hari ini kami merasa Orang Asli Papua, rakyat kelas berapa? Kalau tidak adil seperti ini, maka kami, Orang Asli Papua merasa bukan bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)” ujar Murib. Atas nama MRP, pun Murib menegaskan, agar jaksa, juga aparat penegak hukum lainnya, menerapkan hukum yang berkeadilan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Termasuk terhadap rakyat Papua.
Terkait dengan tuntutan tujuh aktivis Papua itu, Republika mencoba untuk mendapat penjelasan dari Kejaksaan Agung (Kejakgung). Namun sampai saat ini, Kejakgung tak merespon. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono, pun tak membalas pesan pertanyaan Republika, terkait dengan tuntutan berat terhadap tujuh aktivis Papua yang didakwa di PN Balikpapan.
Dialog
Sementara itu, pastor Katolik pribumi dari Lima Keuskupan Seregional Papua mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan orang-orang Papua. Ada empat hal yang perlu dibahas dalam dialog tersebut, yang dinilai sebagai akar masalah yang terjadi di Papua.
"Kami meminta kepada pemerintah Indonesia agar konflik di tanah Papua dapat diselesaikan dan orang asli Papua dapat hidup damai sejahtera di atas tanah leluhurnya," ungkap Penanggung Jawab Koordinator JDP dan Pastor, Pastor Alberto John Bunay, merujuk lansiran Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi, Yones Douw pada Senin (8/6)
Mereka menyoroti adanya masyarakat Papua yang dikenakan pasal makar karena melakukan aksi melawan rasisme. Menurut mereka, ada ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut, di mana pelaku rasisme hanya divonis lima bulan penjara, sedangkan yang menjadi korban rasisme dputus lima tahun penjara dan 17 tahun penjara.
"Supaya suatu saat mereka berbuat sesuatu tidak dijerat dengan pasal makar lagi, maka sangat baik dibuka ruang dialog untuk membahas akar masalahnya," jelas Alberto.
Alberto mengatakan, ungkapan NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati timbul karena belum adanya ruang dialog tersebut. Karena itu, pembicaraan masalah antara para pihak yang berkonflik semestinya dilakukan terlebih dahulu, bukan diselesaikan dengan saling menyalahkan dan menggunakan kekerasan.
"Apapun masalahnya, tanah Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua milik orang asli Papua. Mereka ada dalam tujuh wilayah adat. Karena itu, sangat bermartabat apabila semua rencana diselesaikan dengan cara dialog," kata dia.
Dia menjelaskan, dialog tidak membunuh, tidak menyakitkan, dan tidak membuat pihak yang berdialog menjadi bodoh. Namun sebaliknya, jika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah itu adalah kekerasan, maka akan selalu meninggalkan luka baik lahir maupun batin. "Apapun alasannya, membunuh adalah salah-dosa," katanya.
Setidaknya ada empat hal yang perlu dibahas dalam dialog tersebut. Hal pertama, yakni soal sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sejak 1963 hingga kini. Berikutnya, soal diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri. Kemudian terkait kegagalan pembangunan yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
"Secara permanen, pendekatan dialog harus menjadi kebijakan baru untuk membangun Papua yang stabil dan sejahtera. Bukan kekerasan dan penambahan pasukan. Untuk itu perlu dibentuk tim independen, dari Jakarta dan Papua, merekalah yang melakukan tahapan-tahapan persiapan dialog," tuturnya.