Jumat 05 Jun 2020 18:17 WIB

Perseteruan Khofifah dan Risma Saat Tangani Covid-19

Perseteruan antara Khofifah dan Risma dinilai sangat tidak pantas

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kiri) didampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (kanan)
Foto: ANTARA/Moch Asim
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kiri) didampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dadang Kurnia

SURABAYA -- Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga, Suko Widodo mengatakan, perseteruan antara Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di tengah pandemi Covid-19 sangat tidak pantas. Perseteruan berkepanjangan antar dua Srikandi Jatim tersebut, kata Suko, semakin mengkristalkan kontestasi antarkeduanya dalam meraih dukungan publik

"Pertikaian ini, apapun adanya, tidak bagus bagi masing masing," kata Suko kepada Republika, Jumat (5/6).

Suko menilai jika perseteruan terjadi dalam iklim Pemilu masih dapat dipahami. Tetapi sayangnya aksi saling sindir di media massa terjadi ketika Jawa Timur sedang menghadapi pandemi Covid-19 dan publik sedang membutuhkan informasi konstruktif dan pemimpinnya.

"Maka dari itu, pertikaian itu bisa berdampak pada melemahnya dukungan bagi masing-masing (yang berseteru)" kata Suko.

Namun, jika menilik ke belakang, perseteruan antara Khofifah dan Risma sudah lama terjadi. Adanya pandemi Covid-19 semakin memperuncing perseteruan tersebut. Berdasarkan catatan Republika, perang urat syaraf antar Khofifah dan Risma di masa pandemi Covid-19 diawali rencana Pemkot Surabaya membatasi pergerakan kendaraan yang masuk Kota Pahlawan atau menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hanya kendaraan berplat Surabaya yang boleh masuk. Bahkan Pemkot Surabaya pun telah menempatkan petugas sterilisasi di 19 titik pintu masuk Surabaya.

Mengetahui hal itu, Khofifah langsung menyindir Risma lantaran Pemkot Surabaya tak berkoordinasi dengan Pemprov Jatim. Saat itu Khofifah mengingatkan, pengajuan surat penerapan PSBB ke Kementerian Kesehatan, harus melewati gubernur. Sementara di mejanya saat itu belum ada surat pengajuan PSBB dari Pemkot Surabaya. Apalagi Surabaya berbatasan langsung dengan daerah lain seperti Sidoarjo, Gresik, dan Madura.

Setelah itu, Pemkot Surabaya langsung meralat pemberitaan sebelumnya yang menyatakan Kota Pahlawan telah menerapkan PSBB. Pemkot Surabaya menyatakan hanya melakukan pembatasan pergerakan masyarakat. Pemkot Surabaya juga langsung menarik petugas di 19 pintu masuk Surabaya.

Genderang perang antara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim dan Surabaya kembali berbunyi dalam hal penanganan pasien Covid-19 dari klaster pabrik rokok PT. HM Sampoerna. Khofifah menilai Pemkot Surabaya lamban melaporkan kejadian itu, sehingga klaster penularan Covid-19 meluas.

Pernyataan Khofifah pun langsung ditanggapi Pemkot Surabaya melalui Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya M Fikser. Fikser menganggap Khofifah keliru. Menurutnya, Pemkot Surabaya serius menanggapi informasi penyebaran Covid-19, termasuk klaster Sampoerna.

Perseteruan antar keduanya berlanjut ketika terjadi perbedaan pendapat terkait klaster penyebaran Covid-19 di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza (TP). Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Kohar Hari Santoso, mengatakan dua mal itu sebagai klaster penularan covid-19. Namun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya menolak adanya klaster Covid-19 Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza.

Perseturuan selanjutnya diawali kekesalan Risma lantaran menurutnya rumah sakit-rumah sakit di Surabaya dipenuhi pasien positif Covid-19 dari luar daerah. Khofifah pun menanggapinya dengan menyatakan, etika kedokteran tidak boleh melarang rumah sakit atau dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien berdasarkan RAS, kedaerahan, politik, dan sebagainya.

Pernyataan Khofifah juga dikuatkan oleh pernyataan Dirut RSUD dr. Soetomo Joni Wahyuhadi. Joni bahkan menyangkal pernyataan Risma dan menyebut bahwa 95 persen pasien Covid-19 yang dirawat di di RSUD dr. Soetomo merupakan warga Surabaya.

Adu mulut di media massa semakin menjadi-jadi ketika Pemkot Surabaya dianggap mengantarkan 35 pasien Covid-19 ke RSUD dr. Soetomo tanpa adanya konfirmasi terlebih dahulu. Khofifah menyebut, pasien-pasien tersebut diantar dan ditinggal begitu saja di UGD. Akibatnya terjadi penumpukan pasien di RSUD dr. Soetomo.

Pemkot Surabaya pun membantah tuduhan penelantaran pasien tersebut. Koordinator Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, M Fikser, bahkan mengaku pihaknya merasa difitnah atas tuduhan tersebut. Fikser mengatakan, yang diantar ke RSUD dr. Seotomo adalah pasien kecelakaan. Jumlahnya pun tidak sampai puluhan.

Terakhir adalah perseteruan antara Khofifah dan Risma akibat adanya kesalahan komunikasi terkait penempatan 2 mobil mesin PCR atau mobil laboratorium bantuan dari BNPB. Perseturuan meruncing ketika beredar video Risma yang murka dan menyatakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim menyerobot dua mobil tersebut.

Risma marah-marah karena merasa dirinya yang lebih berhak menggunakan mobil tersebut untuk melakukan tes di Kota Pahlawan. Risma mengaku, dirinya yang mengupayakan dua mobil tersebut dengan menghubungi langsung Kepala BNPB Doni Monardo. Namun Gugus Tugas Jatim malah memindahkan mobil tersebut ke Kabupaten Lamongan dan Tulungagung.

Menanggapi hal itu, Kepala Pelaksana BPBD Jatim, Suban Wahyudiono, mengaku tidak pernah menyerobot mobil laboratorium tersebut. Menurutnya, dua unit mobil tersebut merupakan bantuan dari BNPB untuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim. Artinya tidak dikhususkan untuk Kota Surabaya. Suban juga mengatakan, bantuan mobil mesin PCR tersebut merupakan hasil upaya Khofifah yang bersurat ke Gugus Tugas Pusat pada 11 Mei 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement