Jumat 05 Jun 2020 01:01 WIB
Pada Persidangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Masiku Bawa Foto Tokoh Partai Saat Temui Ketua KPU

Harun Masiku juga membawa surat putusan Mahkamah Agung dan surat DPP PDIP.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi tersebut terkait sejumlah keputusan yang dilakukan secara kolektif kolegial dalam pengangkatan anggota pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku dalam dugaan suap terhadap terdakwa mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi tersebut terkait sejumlah keputusan yang dilakukan secara kolektif kolegial dalam pengangkatan anggota pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku dalam dugaan suap terhadap terdakwa mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar persidangan lanjutan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Kamis (4/6). Dalam persidangan kali ini, saksi yang dihadirkan yakni Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman.

Dalam persidangan,  Arief mengungkapkan, tersangka kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP Harun Masiku pernah menyambangi dirinya di kantor KPU pada September 2019.  Harun, kata Arief, bahkan membawa foto tokoh nasional dan pimpinan partai politik.

Awalnya, Jaksa Kresno Anto Wibowo menanyakan ke Arief apakah Harun membawa sejumlah dokumen saat menemui dirinya. Kepada Jaksa, Arief justru menjelaskan Harun yang membawa beberapa foto.

"Ya, seingat saya dia membawa keputusan Mahkamah Agung, surat DPP PDIP dan beberapa foto dia tunjukkan ke saya," kata Arief di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/6).

"Foto apa itu?," tanya Jaksa Kresno Anto Wibowo.

"Foto dia dengan orang-orang yang mungkin dekat dengan dia," jawabnya.

"Siapa orang dekat itu? Istri? Anak?," tanya Jaksa lagi.

"Enggak. Ada lah, tokoh-tokoh besar, pimpinan partai, foto pejabat. Tapi kan karena itu pertemuan informal saya tidak mencatat, mendokumentasikan apa pun," kata Arief.

Tak puas dengar penjelasan Arief, Jaksa menanyakan siapa saja nama tokoh yang ada di dalam foto tersebut. Namun, Arief tidak menyebut nama para tokoh tersebut. 

Kepada Jaksa, Arief mengaku bersikap biasa saja dan tidak merasa mengalami penekanan atas Harun yang menunjukkan foto sejumlah tokoh nasional dan pimpinan parpol. "Saya enggak menanggapi, saya biasa saja. Dokumen yang dia serahkan itu tidak dimasukkan secara resmi. Dan itu saya letakkan saja," ujar dia.

Arief mengungkapkan  pertemuan antara dirinya dan Harun pun berlangsung secara spontan dan tidak ada janji bertemu. Saat bertemu pun, Harun ditemani seorang pria. Namun Arief  mengaku tak mengenal pria tersebut. 

Saat itu, lanjut Arief, Harun membawa surat putusan Mahkamah Agung dan surat DPP PDIP mengenai permintaan yang bersangkutan untuk ditetapkan sebagai caleg DPR terpilih menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Sedangkan, Harun tidak memenuhi syarat sebagaimana peraturan perundang-undangan.

"Saya tidak bisa pastikan dia bersama siapa. Tapi dia datang berdua, tapi waktunya saya agak lupa. Yang jelas setelah penetapan perolehan suara. Jadi, sudah ketahuan posisinya. Cuma setelah perolehan suara itu kemudian ada sengketa ke MK sampai proses sengketa selesai, kemudian kita menetapkan perolehan kursi dan calon terpilih," terang Arief.

"Jadi, tahapan pemilu penetapan suara itu kemudian kalau ada sengketa, sengketanya ke MK, setelah seluruh proses sengketa selesai barulah dilanjutkan dengan penetapan kursi dan calon terpilih. Saya agak lupa kalau dia datang itu setelah penetapan kursi atau tidak. Tapi yang saya bisa pastikan dia datang setelah ada keputusan MA dan setelah penetapan perolehan suara," tambahnya.

Masih dalam persidangan, terungkap pula Wahyu Setiawan pernah menjabat sebagai Koordinator Wilayah (Korwil) Provinsi Papua Barat yang bertugas untuk memudahkan kerja koordinasi dengan KPU daerah. Awalnya, Jaksa menanyakan hal tersebut lantaran Wahyu diduga juga telah menerima gratifikasi dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.

"Pak Wahyu dulu Korwil di Papua Barat. Selain bagian berdasarkan pembagian kerja, itu untuk memudahkan koordinasi masing-masing anggota menjadi Korwil," ungkap Arief.

Kepada Jaksa, Arief menerangkan tidak ada ketentuan khusus untuk menjadikan putra-putri daerah sebagai anggota KPUD. Namun, kata Arief, hal tersebut biasanya menjadi pertimbangan dalam proses seleksi.

"Tidak ada ketentuan harus darimana (asal daerah)," ungkapnya.

Wahyu, kata Arief, seringkali  melaporkan tahapan proses seleksi KPUD Papua Barat sebagai bentuk pertanggungjawaban masing-masing korwil. Karena tahapan seleksi dimulai dari pembentukan tim seleksi, tes tulis, hingga wawancara.

"Panjang (prosesnya). Setiap selesai ada tahapan, ada dilaporkan dalam rapat pleno," ujarnya. Arief juga menambahkan proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Barat belum rampung hingga kini.

Dalam perkara ini, Wahyu didakwa menerima suap sebesar Rp 600 juta dari Kader PDIP Saeful Bahri dan Harun Masiku. Suap tersebut berkaitan dengan upaya agar Harun terpilih menjadi anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia, sedangkan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat.

Selain itu, Wahyu juga didakwa menerima gratifikasi sejumlah Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan. Uang itu diserahkan melalui perantara Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement