Kamis 04 Jun 2020 11:18 WIB

Pemotongan Tapera yang Dipandang Membebani Rakyat

Pengusaha minta evaluasi PP Tapera sampai keadaan ekonomi membaik.

Pembangunan rumah di perumahan Kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Rencana pemerintah menerbitkan PP Tapera dinilai membebani, karena terdapat ketentuan bahwa gaji PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, dan pegawai swasta akan dipotong untuk iuran Tapera.
Foto: Republika/Prayogi
Pembangunan rumah di perumahan Kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Rencana pemerintah menerbitkan PP Tapera dinilai membebani, karena terdapat ketentuan bahwa gaji PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, dan pegawai swasta akan dipotong untuk iuran Tapera.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Iit Septyaningsih, Antara

Pengadaan rumah bagi seluruh rakyat Indonesia sudah lama menjadi cita-cita pemerintah. Langkah tersebut kini berupaya diwujudkan melalui tabungan yang dipotong dari penghasilan masyarakat. Tepatkah langkah pemerintah di saat sulit seperti ini?

Baca Juga

Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati mengkritisi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelengaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pasal 7 PP Tapera dinilai membebani, karena terdapat ketentuan bahwa gaji PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, dan pegawai swasta akan dipotong untuk iuran Tapera.

"Niat pemerintah menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah patut diapresiasi. Sayangnya, pada saat yang bersamaan, kebijakan itu membebankan masalah anggaran ke pundak para pekerja dan pengusaha," ujar Anis lewat keterangan tertulisnya, Kamis (4/6).

Pemerintah dinilai seolah lepas tangan dengan diterbitkannya PP Tapera ini. Khususnya dalam tanggung jawabnya dalam menghadirkan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Padahal, tanggung jawab tersebut diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945. Disebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

"Peran pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan rumah rakyat menjadi tidak berfungsi," Anis.

Pemenuhan atas tempat tinggal yang layak juga merupakan kewajiban pemerintah. Sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005.

"Besaran simpanan peserta yang ditetapkan 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja, jelas akan memunculkan beban baru bagi pekerja," ujarnya.

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) dinilai membebani kalangan pengusaha dan pekerja di tengah kondisi ekonomi dan bisnis yang tak pasti seperti saat ini. Diketahui, arus kas pengusaha saat ini tengah berdarah-darah akibat pandemi Covid-19.

Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan PP Tapera akan membebani pengusaha dan pekerja karena dalam aturan itu disebutkan besaran iuran Tapera sebesar tiga persen dengan komposisi 2,5 persen dipotong dari gaji pekerja dan 0,5 persen ditanggung pengusaha. Pengusaha, katanya, saat ini sedang meradang, cashflow perusahaan sudah sangat berat akibat berhentinya berbagai aktivitas usaha yang sudah hampir tiga bulan tidak beroperasi.

"Di sisi pekerja yang masih aktif, sudah kebanyakan hanya menerima gaji pokok tanpa ada tunjangan lain akibat ketidakmampuan pengusaha. Dalam kondisi seperti ini wajarkah pengusaha dan pekerja dibebani dengan Tapera ini?," ujarnya.

Menurut Sarman, jangankan untuk memikirkan iuran Tapera, iuran wajib seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan saja para pengusaha sudah meminta agar pembayarannya bisa ditunda. Hal itu dilakukan lantaran ketidakmampuan pengusaha dalam kondisi saat ini.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta itu juga berharap pemerintah bisa mengevaluasi pemberlakuan PP Tapera sampai kondisi ekonomi kita membaik, arus kas pengusaha memungkinkan dan pendapatan pekerja juga telah normal. Dengan demikian pemberlakuan PP Tapera akan benar-benar efektif membantu pekerja memiliki rumah.

"Daripada dipaksakan hasilnya tidak maksimal dan kesannya pemerintah tidak peka terhadap yang kondisi yang dihadapi pengusaha saat ini," katanya.

Bila perlu, lanjut Sarman, PP tersebut sementara dicabut dan diterbitkan kembali pada waktu yang tepat. "Dalam masa sulit yang dihadapi pengusaha saat ini yang dibutuhkan adalah kebijakan yang pro bisnis dan pro dunia usaha, stimulus dan relaksasi yang cepat dan tepat dalam rangka menggairahkan kembali ekonomi kita. Berikan kami semangat dan kepastian jangan beban supaya dunia usaha dapat berlari kencang di segala sektor untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan dan mengurangi beban sosial pemerintah," ujarnya.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menyatakan keberatannya. "Apindo konsisten dari awal kita keberatan dengan program itu, kita memandang PP Tapera tidak perlu ada, karena kita punya BPJS Ketenagakerjaan, di dalamnya ada program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun," jelas Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, Rabu (3/6).

Ia menuturkan, dana kelola dua program jaminan sosial itu bisa digunakan, terutama program Jaminan Hari Tua, sebab sudah ada ada PP Nomor 55 Tahun 2015. "Di PP itu disebutkan, untuk membantu program perumahan pekerja, bisa dialokasikan 30 persen dari dana kelola Jaminan Hari Tua untuk perumahan," tuturnya.

Hariyadi menyebutkan, saat ini dana kelola Jaminan Hari Tua BPJS Ketenagakerjaan sudah Rp 300 triliun lebih. "Jadi cukup besar, kalau pemerintah mau, bisa langsung pakai dananya. Jadi buat apa membuat badan baru dan membebani pekerja kita? Kasihan," ujar dia.

Dia menegaskan, potongan Tapera yang dibebankan ke pengusaha dan pekerja sudah akan memberatkan. "Jadi usulan saya, tidak perlu ada iuran baru tidak usah bebani lagi. Dananya pun sudah tersedia, kan poinnya bagaimana bisa sediakan perumahan untuk pekerja, jadi buat apa bikin lembaga baru?" tegas Hariyadi.

Ia menambahkan, program Tapera juga tidak adil, sebab meski pekerja tersebut sudah punya rumah, tetap wajib membayar iuran. "Kalau di BPJS Ketenagakerjaan adil, karena yang sudah punya rumah tidak usah membayar," jelasnya.

Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) segera beroperasi setelah diterbitkannya Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Komisioner BP Tapera Adi Setianto mengatakan terdapat ketentuan tertentu bagi peserta Tapera untuk mendapatkan pembiayaan.

"Peserta yang memenuhi kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yaitu berpenghasilan maksimal Rp 8 juta dan belum memiliki rumah berhak mengajukan manfaat pembiayaan perumahan," kata Adi dalam pernyataan tertulis, Rabu (3/6) malam.

Adi menjelaskan peserta Tapera dapat menerima pembiayaan dengan bunga murah untuk membeli rumah menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR). Hal tersebut dilakukan berdasarkan prioritas yang akan ditetapkan oleh BP Tapera sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam PP Penyelenggaraan Tapera.

"Pembiayaan juga bisa digunakan peserta untuk membangun rumah di lahan milik sendiri atau melakukan renovasi," ujar Adi.

Dia memastikan, manfaat pembiayaan tersebut dapat diajukan oleh peserta yang memenuhi kriteria setelah satu tahun masa kepesertaan. Pengajuan dapat dilakukan melalui berbagai pilihan bank dan lembaga pembiayaan lainnya.

"Tapera memberikan fleksibilitas pembiayaan dengan prinsip plafon kredit yang ditetapkan sesuai standar minimum rumah layak huni," tutur Adi.

Dengan diterbitnya PP Penyelenggaraan Tapera, Adi mengatakan dana peserta eks Taperum-PNS akan dikembalikan kepada PNS pensiun atau ahli warisnya dan diperhitungkan sebagai saldo awal bagi Peserta PNS aktif. Saldo awal Peserta tersebut selanjutnya akan dikelola menggunakan model kontrak investasi dan sebagian dialokasikan untuk pelaksanaan initial project pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera.

Adi menegaskan, penghimpunan simpanan peserta direncanakan akan dilaksanakan pada Januari 2021. "Pada tahun yang sama, pemerintah juga akan melakukan pengalihan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ke dalam dana Tapera sesuai dengan amanat PP Penyelenggaraan Tapera," jelas Adi.

BP Tapera mengungkapkan program seperti Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara."Program serupa Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, China, India, dan Korea Selatan," ujar Deputi Komisioner BP Tapera Eko Ariantoro.

Selain itu Eko juga menambahkan bahwa hadirnya Tapera melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 merupakan upaya Pemerintah untuk melengkapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement