REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis artikel berjudul 'Amerika, Arey You Ok?' menyikapi maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan penjarahan sebagai imbas tewasnya warga kulit hitam George Floyd setelah tak bisa bernapas akibat lehernya ditekan dengan lutut oleh polisi Derek Chauvin pada 25 Mei lalu.
Berikut petikan sebagian artikel yang diunggah SBY di akun Facebook pribadinya pada Rabu (3/6), sebagaimana dikutip Republika, dengan perbaikan redaksi sesuai KBBI.
Ada kobaran api di Amerika. Ada kerusuhan dan penjarahan di banyak kota. Suasananya seperti 'perang'. Puluhan ribu tentara yang ada di wilayah (national guard) sudah dikerahkan dan diterjunkan. Ribuan pengunjuk rasa dan perusuh ditahan. Banyak pula kota yang memberlakukan jam malam.
Dunia tercengang.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Amerika jadi begitu? Inilah pertanyaan yang muncul di banyak negara.
Ternyata masyarakat internasional bukan hanya tercengang. Muncul pula protes-protes yang menunjukkan solidaritasnya dengan komunitas kulit hitam Amerika itu. Kita saksikan, paling tidak terjadi di 14 kota besar di dunia--London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney, Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, dan Rio de Janeiro.
Saya tidak ikut-ikutan tercengang. Cuma merenung. Dan mau bertanya sedikit, “Are you OK, Amerika?” Yang bertanya begini mungkin banyak. Di seluruh dunia. Bukan hanya saya.
Saya tidak termasuk orang yang anti-Amerika. Atau anti-Barat.
Dalam pengabdian panjang saya sebagai prajurit TNI (sekitar 30 tahun), empat kali saya mengemban tugas pendidikan dan pelatihan di Amerika Serikat. Ketika menjadi menteri dan presiden, saya juga sering melakukan kunjungan ke negara Paman Sam itu. Termasuk membangun kemitraan strategis (strategic partnership) di antara ke dua negara, Indonesia-Amerika Serikat. Hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan dan saling hormat menghormati dulu terus kita jalin, baik pada masa pemerintahan presiden George Bush (Jr) maupun presiden (Barack) Obama.
Satu catatan, ketika hubungan Indonesia-Amerika terus berkembang dengan baik, kita juga menjalin hubungan (termasuk kemitraan strategis) dengan negara lain. Negara-negara itu sebagian adalah 'rival' Amerika. Menurut saya, sesuai amanah para pendiri republik, 'politik bebas aktif' harus tetap menjadi haluan kita. Di era saya dulu, saya tambahkan lagi dengan all direction foreign policy.
Artinya, menjalin hubungan baik ke segala penjuru dunia, apapun ideologi dan sistem politik yang dianut negara-negara itu. Syaratnya, mereka menghormati kedaulatan kita dan memiliki common interests dengan Indonesia.
Sungguh pun saya tidak membenci dan anti-Amerika, namun saya bukanlah tipe orang yang 'mendewakan' Amerika. Mengapa ini harus saya katakan?
Banyak orang di dunia ini, saya kira di negeri kita juga ada, yang sangat mengagungkan Amerika Serikat. Seolah, negara itu selalu benar. Tidak pernah salah. Orang-orang itu juga menganggap Amerika bisa menjadi role model. Menjadi panutan dan rujukan. Mungkin demokrasinya, HAM-nya, kebebasannya, pranata hukumnya, sistem politiknya, pemilunya, ekonomi pasarnya, ketokohan presidennya dan lain-lain.
Dalam waktu yang sangat lama Amerika juga dinilai sebagai negara yang segalanya 'paling'. Maksudnya, paling kaya ekonominya, paling kuat militernya, paling dominan politik luar negerinya dan paling maju teknologinya. Bahkan setelah berakhirnya Perang Dingin di akhir tahun 1980-an, Amerika dianggap sebagai satu-satunya negara Adi Daya (super power). Melekat pula sebuah 'pengakuan' bahwa de facto Amerika adalah pemimpin dunia (global leader).
Pertanyaannya sekarang adalah, “Apakah Amerika masih seperti itu?” Inilah yang menarik untuk dijawab.
Siapa yang bisa menjawab, di samping negara-negara lain, ya bangsa Amerika sendiri. Dengan catatan mereka harus jujur dan objektif.
Sebelum mengamati apa yang terjadi di Amerika saat ini, barangkali ada yang pernah membaca buku yang berjudul The Rise and Fall of the Great Powers yang ditulis oleh Paul Kennedy. Mungkin buku itu sekarang sudah menjadi klasik dan tak lagi dibicarakan. Saya masih ingat isinya, karena ketika berpangkat letnan kolonel saya pernah mendiskusikannya dengan sahabat saya (almarhum) Agus Wirahadikusumah.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Amerika tidak selalu berjaya. Atau bisa mengalami nasib yang sama dengan negara-negara yang pernah berjaya dan kemudian jatuh. Atau paling tidak menyusut pamornya.
Ingat dulu ada Inggris dan negara-negara Eropa yang pernah berjaya pada jamannya. Menguasai dunia. Jepang pernah menjadi contoh negara yang sangat sukses. Kini Tiongkok tumbuh mengagumkan. Tapi, apakah Tiongkok akan menggantikan Amerika sebagai pemimpin dunia yang baru, tak ada yang tahu.
Amerika juga begitu. Tentu, saat ini Amerika masih 'digdaya'. Tapi laksana matahari, ada masa terbit dan terbenamnya, kisah jaya dan jatuhnya sebuah negara akan selalu ada.
Kembali ke soal Amerika, mungkin tak perlu terlalu jauh kita membicarakan nasib dan masa depannya. Sebab, menurut saya hanya Tuhan yang tahu. Kita lihat sajalah situasi Amerika saat ini. Minggu-minggu ini.