REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, Kamran Dikarma, Fergi Nadira
Kisruh akibat kematian pria kulit hitam George Floyd masih terus bergulir di Amerika. Kondisinya bahkan terus memanas. Kerusahan terjadi di sekitar Gedung Putih. Jam malam berlaku. Presiden Donald Trump juga mengancam menurunkan lebih banyak aparat jika massa tak kunjung bisa dikendalikan.
Floyd ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, Floyd diborgol dan tidak memberontak dalam penangkapan tersebut. Namun, polisi mengklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap.
Seorang perwira polisi, Derek Chauvin menekan lututnya di bagian leher Floyd hingga dia tak bisa bernapas. Sementara, berdasarkan rekaman video, dua polisi lainnya menekan lutut mereka di bagian punggung Floyd.
Pengacara yang mewakili keluarga pria Afrika-Amerika, George Floyd yang diduga dibunuh oleh Chauvin meminta tuntutan tambahan. Salah satu pengacara, Antonio Romanucci, mengatakan tiga petugas polisi lainnya yang berada di tempat kejadian harus juga menghadapi dakwaan.
"Tidak hanya lutut di leher George yang menjadi penyebab kematiannya, tetapi juga berat kedua lutut petugas polisi lain di punggungnya, yang tidak hanya mencegah aliran darah ke otaknya, tetapi udara mengalir ke paru-parunya. Itu membuat semua petugas di tempat kejadian perkara bertanggung jawab secara pidana," ujar Romanucci.
Ketua pengacara untuk keluarga Floyd, Ben Crump, mengatakan hasil autopsi independen dan bukti video memperlihatkan bahwa Floyd sudah meninggal dunia ketika dia masih terbaring dan polisi tetap menekan lutut mereka ke tubuh pria berusia 46 tahun itu. Ketika dibawa oleh ambulans ke rumah sakit, napas Floyd telah berhenti.
"Ambulans itu adalah mobil jenazahnya," ujar Crump.
Crump mengatakan, keluarga Floyd ingin dakwaan diajukan terhadap keempat petugas polisi yang ada di tempat kejadian perkara. Empat polisi tersebut yakni Derek Chauvin, Thomas Lane, Tou Thao, dan J Alexander Kueng. Chauvin yang menekan lututnya di leher Floyd telah didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga. Namun, keluarga ingin Chauvin didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama.
Dua dokter yang melakukan autopsi independen atas kematian Floyd menyatakan ia meninggal dunia karena sesak napas akibat lehernya ditekan oleh lutut.
Para dokter mengatakan, kematian Floyd adalah pembunuhan. Dia kemungkinan meninggal dunia sebelum dimasukkan ke ambulans dan dibawa ke rumah sakit. Hasil autopsi independen tersebut bertentangan dengan temuan awal dari autopsi resmi oleh Pemeriksa Medis Hannepin County, yang ditulis dalam dokumen tuntutan pengadilan.
Berdasarkan hasil temuan awal, tidak ada bukti pencekikan traumatis kepada Floyd. Kematian Floyd kemungkinan disebabkan oleh penyakit yang menyertainya yakni arteri koroner dan hipertensi.
"Buktinya konsisten dengan asphyxia sebagai penyebab kematian dan pembunuhan," ujar salah satu dokter independen yang melakukan autopsi, Allecia Wilson dari University of Michigan.
Berdasarkan rekaman video, Floyd terbaring telungkup di jalan dengan seorang perwira polisi, Derek Chauvin menekan lututnya di bagian leher. Floyd tampak terengah-engah dan mengerang mengatakan kalau ia tidak bisa bernapas secara berulang kali. Chauvin tetap mempertahankan lututnya di leher Floyd selama hampir sembilan menit.
Chauvin telah dipecat dari kesatuan kepolisian Minneapolis dan didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga. Namun, salah satu dokter independen lainnya yang mengautopsi jenazah Floyd, Michael Baden mengatakan, dua petugas polisi yang menekan punggung Floyd juga menyebabkan napasnya berhenti.
"Kita dapat melihat setelah kurang dari empat menit bahwa Floyd tidak bergerak, tidak bernyawa," kata Baden, sembari menambahkan dia tidak menemukan kondisi kesehatan yang mendasari Floyd dan menyebabkan kematiannya.
Baden telah menangani beberapa kasus terkenal, termasuk kematian Eric Garner 2014, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah dicekik oleh polisi di New York City. Baden menepis argumen bahwa jika Floyd bisa bicara maka dia bisa bernapas.
"Banyak polisi mendapat kesan bahwa jika Anda dapat berbicara, itu berarti Anda bernafas. Itu tidak benar," kata Baden, dilansir dari Reuters.
Situasi yang masih mencekam di Amerika membuat Donald Trump meminta para gubernur di negaranya lebih keras dalam menangani massa yang berpartisipasi dalam aksi protes kematian George Floyd. Dia menyebut sebagian besar dari gubernur telah bersikap lemah.
"Sebagian besar dari Anda lemah. Kalian harus menangkap orang-orang, kalian harus melacak orang-orang, kalian harus memasukkan mereka ke penjara selama 10 tahun dan kalian tidak akan pernah melihat hal ini lagi," kata Trump dalam sebuah konferensi virtual dengan para gubernur, penegak hukum, dan pejabat keamanan nasional pada Senin (1/6) waktu AS, dikutip laman ABC News.
Trump meminta para gubernur agar bersikap lebih mendominasi. "Jika Anda tidak mendominasi, Anda membuang-buang waktu. Mereka (demonstran) akan menabrak Anda, Anda akan terlihat seperti sekelompok orang brengsek," ujarnya, seperti dilaporkan laman CNBC.
Pada Jumat pekan lalu, Trump sempat mengomentari aksi demonstrasi yang mengecam kematian George Floyd di luar Gedung Putih melalui akun Twitter pribadinya. Seperti sebelumnya, Trump melontarkan ancaman kepada massa.
"Jika mereka (menerabas pagar), mereka akan disambut dengan anjing-anjing paling ganas dan senjata paling tidak menyenangkan yang pernah saya lihat. Saat itulah orang-orang akan terluka parah," kata Trump.
Dia pun sempat mengatakan tak bisa tinggal diam menyaksikan kerusuhan dan huru-hara yang terjadi di Minneapolis, tempat George Floyd berasal. Dia mendesak pemerintah kota segera bertindak dan mengontrol kembali kondisi di sana.
“Para penjahat ini tidak menghargai kenangan George Floyd dan saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Baru saja berbicara dengan Gubernur (Minnesota) Tim Walz dan mengatakan kepadanya bahwa militer bersamanya. Kesulitan apa pun dan kami akan mengambil kendali tetapi, ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai,” ujar Trump.
Cicitan Trump seketika menuai kritik dan kecaman. Dia dianggap rasialis saat menyebut massa yang berdemonstrasi dan berempati atas kematian George Floyd sebagai penjahat.
Situasi yang tidak kondusif di Amerika juga menjadi perhatian Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington DC bersama dengan seluruh Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Amerika Serikat (AS). Mereka terus memonitor dari dekat sekaligus memastikan keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersebar di berbagai kota dan wilayah di AS. Hal ini dilakukan menyusul merebaknya gelombang demonstrasi yang terjadi sejak 26 Mei 2020.
"Seluruh WNI di AS yang berjumlah 142.441 orang saat ini berada dalam kondisi aman dan baik-baik. Tidak ada laporan terkait WNI yang terdampak akibat demo", ujar Kuasa Usaha Ad-Interim/Wakil Duta Besar RI untuk AS Iwan Freddy Hari Susanto dalam rilis pers yang diterima Republika, Selasa (2/6).
Aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai negara bagian di AS, mulai dari wilayah Pantai Timur hingga Pantai Barat, telah memasuki hari ketujuh. Sebagian telah menerapkan peraturan jam malam dan status darurat.
"Keselamatan dan keamanan WNI di AS menjadi prioritas utama dan perhatian khusus KBRI Washington DC dan KJRI-KJRI se-AS", ujar Iwan Freddy.
Dia mengatakan, sebagai salah bentuk perlindungan kepada WNI, semua Perwakilan RI di AS telah mengeluarkan imbauan kepada WNI agar tetap tenang, hati-hati dan tidak keluar rumah kecuali untuk kepentingan atau kebutuhan yang mendesak, seperti membeli kebutuhan rumah tangga sehari-hari atau pergi ke dokter. "WNI juga kita wanti-wanti agar menjauhi tempat-tempat terjadinya aksi unjuk rasa karena akan membahayakan keselamatan dan keamanan mereka. Patuhi setiap instruksi, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas setempat", tegas Wakil Dubes RI.
Iwan Freddy juga menambahkan bahwa seluruh Perwakilan RI di AS terus menjalin kontak dengan simpul-simpul masyarakat Indonesia, termasuk mahasiswa, di berbagai wilayah di AS untuk membantu memantau dari dekat dan memastikan keselamatan WNI.