Ahad 31 May 2020 10:21 WIB
new normal

Zaman Normal, Orde Baru, New Normal: Wolak-waliking Zaman!

Apa benar ada zaman normal atau 'new normal'?

Pemandangan sebuah ruas jalan di Pantura Jawa, sebelum krisis ekonomi 1930.
Foto:

                                        *******

Lalu pada kurun berikutnya  hal serupa juga terjadi? Jawabnya ternyata sama pula. Kala terjadi peristiwa krisis ekonomi 1930 dunia, yang salah satunya penyebabnya juga akibat adanya pandemik flu spanyol pada 1918-1920, juga ada anggapan sama.

Kala itu masyarakat juga menyebut zaman sebelumnya sebagai zaman normal, padahal kalau mengacu pada syair Ranggawarsita yang ditulis sekitat tahun 1800-an itu, zaman sesudahnya itu sudah keburu disebut zaman edan alias tak normal.

Sebutan zaman normal ini bagi orang Betawi, khusunya para tuan kulit putih di Hindia Belanda saat itu juga sangat  masuk akal. Sebab, saat dari tahun 1900-1930 Hindia Belanda bisa disebut sangat makmur, Kehidupannya berbeda dengan situasi sebelum politik etis atau sebelum tahun 1900-an di mana kelaparan dan pandemi kolera merebak. Khusus untuk Muslim, kurun ini terbukti nyata dengan membludaknya orang naik haji yang kala itu sudah mencapai puluhan ribu. Hamka yang tahun 1926 berhaji di Makkah mencatat jumlah jamaah haji Indonesia sangat banyak. Tokoh-tokoh top pergerakan nasional banyak yang naik haji.

Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.

  • Keterangan Foto: Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.

Di Batavia kemakmuran atau ‘kenormalan’ zaman itu terasa. Orang yang dari kampung yang menjadi pekerja migran bercerita bila mereka cukup bekerja sepekan di kota untuk hidup selama sebulan lebih dikampungnya yang ada dipinggiran Jakarta..

Bahkan sandang dan pangan mudah didapatkan. Kemakmuran Batavia ini juga dicontohkan dengan banyaknya pohon buah-buahan dibiarkan tak terpetik dan bergeletakan di tanah karena saking melimpahnya keadaan. Alhasil, para tetua Betawi dahulu menyebut fase hidup sebelum 1930 adalah zaman normal. Sesudah itu disebut zaman baru yang tak normal.

Dan memang sesudah itu, situasi Batavia ada Hindia Belanda juga tak kunjung normal. Ini karena kemudian yang muncul hanya kesulitan hidup bahkan satu dasa warsa kemudian terjadi perang dan datangnya penjahan Jepang yang sangat kejam. Batavia yang dulu makmur kini hidup dalam kesusahan. Manusia bercelana karung goni muncul di mana-mana. Kelaparan merebak karena Jepang memaksa ikut merampas hasil panen beras.

Kondisi hidup susah kemudian terbawa-bawa pasca datangnya kemerdekaan. Bahkan sampai tahun 1970-an anggapan zaman normal kala Batavia begitu makmur masih lestari. Setiap ada kesusahan hidup para tetua selalu menanggap dengan memaklumi bahwa zaman ini bukan lagi ‘zaman normal.’

Kenangan akan ‘zaman normal ‘ kemudian sempat perlahan hilang dengan eksisnya Orde Baru (tatanan baru, zaman baru) yang juga menganggap zaman sebelumnya sebagai zaman lama atau zaman susah: Orde Lama.

Bagi yang sempat mengalami tahun 1980-an misalnya pasti ingat seperti apa zaman Indonesia lumayan makmur itu. Beras memang melimpah sering dengan penghargaan pangan dari WHO kepada Pak Harto. Makan nasi bulgur tinggal cerita. SD Inpres dan Puskesmas eksis di mana-mana yang mana pada di zaman ini malah dianggap sukses, bahkan yang menelitinya  kemudian dapat hadiah Nobel. Para sopir taksi senior bercerita bila dengan menjadi sopir taksi saja kala itu mereka dapat membeli rumah dan dapat penghasilan lumayan.’’Aku lihat para sopir taksi sekarang mas, boro-boro beli rumah, untuk setoran dan makan saja susah,’’ katanya.

Nah, bila zaman ini masuk juga istilah zaman baru atau new normal, maka tak usah heran. Dari dulu selalu ada sebutan soal zaman, dari zaman edan, zamar normal, orde lama, orde baru, hingga normal baru (new normal).

Apalagi pada hakikatnya masa depan manusia tidak ada yang tahu dan pasti dalam ketidakpastian. Maka pesannya bertawakalah bila menjumpai 'wolak-waliking (bolak-baliknya) zaman...!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement