Kamis 28 May 2020 15:09 WIB

Legislator: Pemerintah Harus Jujur Soal New Normal

Jangan sampai wacana new normal ni hanya sebagai kedok ketidakmampuan pemerintah.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta
Foto: dok.Istimewa
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah mewacanakan protokol tatanan hidup baru (new normal) agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan covid-19. Hanya saja, pemerintah harus jujur menyampaikan situasi dan kondisi yang ada saat ini sebelum menerapkan new normal.

"Saat ini protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru sudah diterbitkan Kemenkes, Pak Presiden juga sudah minta agar ada sosialiasi secara masif terhadap protokol ini, kan sudah jelas arahnya ke depan pelonggaran PSBB. Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkah situasi penanganan Covid-19 saat ini sudah semakin terkendali atau wacana "new normal" ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19," kata anggota Komisi I DPR RI Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/5).

Sukamta mencatat ada lima persoalan mendasar penanganan Covid-19 yang sejak awal dilakukan pemerintah. Pertama, tidak pernah ada kejelasan grand desain penanganan virus corona dari pemerintah.

"Padahal kejelasan tahapan itu penting tidak hanya dalam upaya penanganan pandemi tetapi juga menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, dunia usaha, pariwisata dalam memulai kembali aktivitasnya," ujarnya.

Persoalan kedua yaitu terkait sistem koordinasi. Menurutnya, sejauh ini tidak terlihat jelas garis komando antara presiden, kementerian dan gugus tugas dan pemerintah daerah.

Pada Rabu (27/5) Presiden berstatemen menagih lagi jajarannya target uji spesimen 10 ribu per hari yang sudah dia pesan beberapa bulan yang lalu. Pesan ini tidak jelas ditujukan kepada siapa, apakah Menteri Kesehatan atau Gugus Tugas atau menagih dirinya sendiri sebagai komando tertinggi. Ini semakin menunjukkan selama ini tidak ada koordinasi yang baik di pemerintah pusat.

Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang siur. Sudah begitu Presiden mengatakan daerah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 sebelum menerapkan new normal. "Ini kan artinya lempar tanggung jawab," ungkapnya.

Ketiga, Sukamta menganggap, pernyataan Presiden soal menagih target uji spesimen tersebut menunjukkan bahwa selama ini tes Covid-19 masih jauh dari optimal, karena hanya dua kali yang bisa lebih dari 10 ribu uji spesimen. Sementara angka-angka yang diumumkan tiap hari oleh Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dinilai tidak memberikan gambaran nyata penyebaran virus. 

"Banyak ahli epidemiologi yang mengkritik soal ini. Ini artinya jika kurva Covid-19 yang tersaji hingga saat ini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian yang dilakukan," ujarnya.

Kemudian yang keempat, dirinya melihat masih ada kesenjangan sarana prasarana (sarpras) kesehatan di setiap daerah dan juga SDM tenaga kesehatan. Menurutnya, rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di tahun 2018 hanya 1 dibanding 1000 penduduk, di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1000 penduduk. Sementara Presiden meminta Puskemas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19 namun baru 33 persen yang kondisinya memadai. 

"Ini artinya sarpras kesehatan yang ada saat ini tidak memadai untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien positif, belum lagi soal ketersediaan APD yang banyak dikeluhkan oleh rumah sakit hingga hari ini." katanya.

Terakhir, Sukamta melihat, pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran. Hal tersebut menunjukan tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah. Dirinya mempertanyakan kesiapan new normal di tengah kondisi masyarakat yang seperti itu. 

"Jadi sangat penting kejujuran pemerintah dalam situasi saat ini, seberapa jauh berbagai persoalan mendasar yang kami sebut tadi sudah tertangani dengan baik. Dan kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pihak Pemerintah sebagaimana pak Menko Polhukam kemarin (26/5) yang menyebutkan kematian akibat kecelakan dan diare lebih banyak dibandingkan Virus Corona. Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement