Rabu 27 May 2020 09:24 WIB

New Normal, Waketum MUI Masih Khawatir

Pembukaan pusat perbelanjaan terkesan pemerintah dapat tekanan untuk relaksasi.

Rep: Umar Muchtar/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi menilai kunjungan Presiden Joko Widodo ke mal menunjukkan new normal pada era pandemi Covid-19 secara tak langsung sudah digaungkan. Dia menegaskan, kebijakan tersebut harus melalui kajian komprehensif melibatkan semua pihak di negeri ini.

"Kita masih sangat khawatir dengan peningkatan kurva masyarakat yang terpapar Covid-19. MUI tak sejalan dan menolak penerapan herd immunity hanya dengan alasan penyelamatan ekonomi tanpa adanya penerapan PSBB secara sungguh-sungguh dan di bawah satu komando yang jelas dan tegas," kata dia dalam keterangan tertulis kepada Republika, Selasa (26/5).

Muhyiddin menambahkan, para pakar menegaskan penerapan herd immunity di Indonesia tanpa dibarengi stimulus ekonomi kerakyatan yang adil justru akan menimbulkan risiko besar bagi rakyat. Dampaknya, masyarakat menjadi kelinci percobaan. Mereka yang tak punya imunitas tubuh yang kuat pasti akan menjadi korban.

"Karena itu, MUI menolak kebijakan herd immunity atas nama lain karena penyelamatan jiwa harus lebih diutamakan daripada penyelamatan ekonomi saja. Pemerintah harus menjelaskan kepada publik tentang kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat," katanya.

Muhyiddin berpendapat, dibukanya pusat perbelanjaan merupakan upaya penyelamatan ekonomi. "Tetapi, kebijakan tersebut dinilai oleh banyak pakar masih berbau kontroversial dan immature. Ada kesan Indonesia meniru langkah beberapa negara yang sudah menerapkan relaksasi seperti Malaysia, India, dan beberapa negara lain di Asia dan Eropa," ucapnya.

Apalagi, Muhyiddin melanjutkan, publik sudah sangat paham bahwa pemilik mal dan pusat perbelanjaan modern di seluruh negeri adalah mereka yang punya kedekatan secara politik dengan pusat kekuasaan. Karena itu, menurut dia, sangat logis jika relaksasi tersebut terkesan bahwa pemerintah mendapatkan tekanan atau pressure untuk melakukan relaksasi.

"Sementara, angka kurva masih tinggi dan kebijakan baru pemerintah belum diumumkan secara resmi. New normal seharusnya dijadikan sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara, bukan sekadar penerapan pola hidup empat sehat lima sempurna, tetapi pola hidup yang religius, adil, bebas dari korupsi, kemaksiatan, kezaliman, kebohongan, dan penerapan prinsip kesamarataan di depan hukum," tutur dia.

Jika diterapkan, Muhyiddin menambahkan, hal tersebut harus disertai dengan pertimbangan dibukanya kembali masjid, mushala, majelis taklim, dan rumah ibadah lainnya. Hal ini sangat penting agar kebijakan relaksasi tersebut mendapat dukungan masyarakat luas dengan tetap mengikuti protokol kesehatan nasional.

"MUI meminta agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang sama tentang rumah ibadah secepat mungkin agar umat tenang beribadah," ujar dia.

Muhyiddin juga meminta agar pemerintah yang saat ini sudah punya amunisi kuat dari DPR tidak bersikap jemawa dan otoriter dalam menerapkan kebijakan publik. Di samping itu, DPR harus mengoptimalkan fungsinya sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai politik saja. Saat menjadi anggota DPR, mereka menjadi wakil rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement