Selasa 26 May 2020 04:37 WIB
kelaparan

Sedih dan Lapar: Ada Apa dengan Lebaran 1960-an dan 2020?

Soal kelaparan di awal tahun 1960-an.

Bung Karno saat membuka Asian Games 1962
Foto:

Terkait kisah ancaman kelaparan Indonesia pada tahun 1960-an, teringat kepada tulisan karya 'Abah Awi Shahab' di Republika pada 6 Agustus 2009. Tulisan ini seperti terkait suasana rakyat pada tahun-tahun awa pasca reformasi 1998, yang kala itu juga sempat terjadi kerawanan pangan. Waktu itu marak sekali bantuan pangan yang disebarkan ke rakyat dalam program dengan nama 'social safety net' (jaringan kesekaamat sosial). Tulisan 'Abah' (panggilan akrab kami Alwi Shahab) begini selengkapnya.

Di Jakarta tiap terjadi kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya membuat suasana ibu kota jadi gawat. Boleh dikata tiap hari terjadi demo dan aksi massa menuntut turunnya harga-harga kebutuhan pokok. Di tengah harga yang makin menjerat kehidupan rakyat itu, demo-demo juga dibarengi masalah politik yang terus memanas akibat politik konfrontasi. Seperti menjelang natal, tahun baru, dan Idul Fitri 1964-1965, harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak gila-gilaan. Yang menyedihkan, barang-barang hilang dari pasaran.

Nganteuran dan Munjung, Tradisi Berbagi Makanan Jelang Idul Fitri ...

  • Keterangan: Berbagai makanan menjelang lebaran yang dalam tradisi Betawi disebut  'ngejot'

 Seperti dilaporkan Henk Ngantung, gubernur Jakarta masa itu, ketika alat-alat negara mengadakan penertiban di pasar-pasar, yang terjadi justru beras menghilang dari ibu kota. ”Tidak perlu saya lukiskan bagaimana suasana ibu kota kala itu. Jangankan rakyat yang tidak mampu, yang mampu pun sama nasibnya karena beras menghilang di pasaran,” tulis Henk Ngantung mengenai kesan-kesannya sebagai gubernur DKI dalam buku ”Karya Jaya”.

 Pada masa Gubernur Soemarno, dilakukan dropping beras di kantor-kantor pemerintah, koperasi-koperasi, pasar, hingga ke RT dan RK (kini RW). Pokoknya, pada tahun 1950-an dan 60-an antre-antrean panjang terjadi di banyak tempat di ibu kota. Mereka rela berdesak-desakan hampir tiap hari untuk mendapatkan beras dan sejumlah bahan pokok lainnya, seperti gula dan minyak tanah.

 Seperti juga sekarang melalui Bulog, pemerintah kala itu juga ikut campur menangani distribusi. Pemerintah menganggap tidak mungkin ada perdagangan bebas beras tanpa campur tangan pemerintah, apalagi produksi dalam negeri tidak mencukupi. Anehnya, sekalipun dropping dilakukan harga beras bukannya turun, malah harganya semakin melonjak. Boleh dikata kala itu hampir tiap hari terjadi kenaikan harga beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Kala itu merupakan hal biasa di rumah-rumah orang makan nasi dicampur jagung atau bubur karena mahalnya harga beras.

Sementara, beras dropping untuk Jakarta banyak yang nyasar ke daerah lain. Pemerintah menganggap dropping tidak berjalan efektif bila sistem antre beras tidak diawasi. Apalagi, mereka yang sudah dapat pembagian beras di kantor-kantor ikut-ikutan menikmati dropping. Agar tak sampai dobel menerima jatah beras, pada masa gubernur Soemarno (1960-1965), ia mengeluarkan kartu keluarga khusus pembagian beras. Pegawai negeri tidak berhak lagi untuk menerimanya.

 Di samping beras, melalui kartu khusus ini juga dilakukan pembagian gula, minyak tanah, dan kebutuhan pokok lainnya. Kebijakan ini memang bisa mencegah terjadinya manipulasi beras dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Tapi, sayangnya tidak dapat mencegah kenaikan harga barang-barang tersebut. Boleh dikata harga beras kala itu bukan saja tidak pernah stabil, malah terus merambat naik. Yang menyedihkan, pada saat-saat puasa dan menjelang Idul Fitri warga selalu dirisaukan kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari.

 Bahkan, tekstil kala itu ikut-ikutan menghilang dari pasaran. Yang sering dituding penyebabnya adalah kelompok ‘kapitalis birokrat’ (kapbir) dan kaum spekulan. Kala itu merupakan pemandangan biasa bila para demonstran membawa spanduk di jalan-jalan berbunyi ”Ganyang Kapbir, Ganyang OKB” (orang kaya baru). Atau ”Ganyang Setan Kota dan Setan Desa”. Terutama, demo yang dilakukan kelompok kiri.

 Generasi sekarang mungkin banyak tidak mengenal bulgur. Pertengahan 1960-an bulgur pernah menjadi bahan makanan pengganti beras. Konon, makanan yang di AS menjadi konsumsi kuda ini ketika didistribusikan di Jakarta banyak yang tidak tahu cara memasaknya. Di kira seperti beras, langsung dimasak. Dampaknya banyak yang perutnya kembung dan sakit-sakitan. Penyebabnya, bulgur jadi melar di perut sehingga banyak yang dibawa ke rumah sakit. Seharusnya sebelum dimasak dikukus dulu selama sehari.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement