Sabtu 23 May 2020 16:48 WIB
Komunis

100 Tahun PKI: Lahirnya Komunisme di Indonesia

Lahirnya Komunisme di Indonesia

Para aktvis PKI di Batavia
Foto:

Kongres SI di bulan Maret tahun 1921 menandai rekonsiliasi hubungan kubu kiri dan Islam di Sarekat Islam. Selain faktor Tjokroaminoto, penyesalan Semaoen atas kritik Dharsono ditanggapi positif oleh CSI. Kongres ini juga melahirkan butir-butir pernyataan sikap yang mengakomodir kedua kubu.

Diantara poin-poin tersebut adalah;

Mengenai produksi dan pencarian penghidupan, setiap orang harus bekerja dengan segala kemampuan dan pikiran mereka, tidak boleh mengambil hasil kerja orang lain. Untuk saat ini hal tersebut bisa dicapai dengan mengembalikan kekayaan dan kepemilikan untuk produksi kepada masyarakat.

Poin tersebut hendak dicapai dengan prinsip SI yang berlandaskan ajaran Islam. “…Oleh sebab itu SI menginginkan kerjasama dengan gerakan internasional tersebut guna mewujudkan cita-cita bagi seluruh umat manusia sesuai dengan ajaran Islam. SI dengan mengingat karakter dunia dan ajran agama, menolak ketergantungan pada bagian mana pun dari gerakan internasional (cetak tebal dari penulis), tetapi hendak mewujudkan kemerdekaan dan menjaga kemurnian cita-cita.”

Kesepakatan (kubu) Salim-Semaoen ini juga tak lepas dari campur tangan Tjokroaminoto. Poin-poin di atas membuat kedua kubu merasa sama-sama terwakili. Namun di luar, kedua kubu saling serang melalui media masing-masing. Haji Fachrodin dari Muhammadiyah misalnya, menyebarkan brosur yang menolak kemungkinan bersatunya Islam dengan komunis. Asser Baars dari PKI menganggap hal yang sama. Pada bulan Oktober 1921, Tjokroaminoto ditahan pemerintah kolonial atas kasus ‘SI afedeling B.’ Hal ini berdampak pada situasi di CSI, antara kubu kiri dan Islam. Akibat absennya Tjokroaminoto, hubungan kedua kubu tak lagi dapat terjembatani.

Gambar 1.10 Kartun yang mengangkat tentang penuntutan hukum terhadap Tjokroaminoto atas tuduhan keterlibatannya di kasus ’Sarekat Islam afdeling B.‘ Sumber foto: Het Nieuws van Den Dag, 12 Desember 1921

  • Keterangan foto: Kartun yang mengangkat tentang penuntutan hukum terhadap Tjokroaminoto atas tuduhan keterlibatannya di kasus ’Sarekat Islam afdeling B.‘ Sumber foto: Het Nieuws van Den Dag, 12 Desember 1921

     

Pada Kongres SI digelar pada tanggal 6-10 Oktober 1921. Perdebatan antara kubu Salim dengan Semaoen dan Tan Malaka (seorang tokoh komunis baru dalam pergerakan yang menonjol) tak dapat dihindari. Tan Malaka mengingatkan Haji Agus Salim bahwa, komunis bekerja sama dengan kelompok Islam di Eropa Timur seperti Kaukasus, Persia, dan Bukhara.[10] Hal ini ditampik Haji Agus Salim. Ia mengatakan bahwa meski bekerja sama namun komunis tak mencampuri urusan dalam negeri, negeri-negeri tersebut. Semaoen malah menekankan, bahwa agama saja tak cukup menjadi landasan perjuangan. Seorang muslim bisa saja menjadi kapitalis atau sosialis. Perjuangan hanya untuk satu agama sama saja devide et impera ala pemerintah kolonial. Salim kemudian menjawab bahwa dalam Al Qur‘an semua terjawab.

Kongres itu menjadi kongres yang semakin mengokohkan Islam sebagai landasan Sarekat Islam. Haji Agus Salim ketika menyinggung statuta kedua SI, menjelaskan bahwa “…perhimpoenan jaitoe dengan mengingati sjarat-sjarat agama Islam dan hanja dengan daja opeaja jang tidak melanggar wet-wet Negeri, tidak melanggar ’adat – isti’adat jang baik dan tidak melanggar ketertiban oemoem; menghilangkan pikiran jang menasar tentang agama Nabi Moehammad s.a.w dan memadjoekan peri kehidoepan menoeroet djalan agama itoe (seteroesnja)“

Gambar 1.11 Haji Agus Salim ketika menjadi penasehat mewakili delegasi Belanda di konferensi buruh di Jenewa, Swiss. Sumber foto: Arnhem Courant, 28 Juni 1929

  • Keterangan foto: Haji Agus Salim ketika menjadi penasehat mewakili delegasi Belanda di konferensi buruh di Jenewa, Swiss. Sumber foto: Arnhem Courant, 28 Juni 1929

     

Disiplin partai di Sarekat Islam pun akhirnya terjadi. Tidak ada lagi keanggotaan ganda. Anggota PKI harus memilih apakah akan tetap di CSI atau PKI? Dispilin partai diterapkan untuk menghindari SI ditunggangi partai atau kelompok lain demi kepentingannya. Disiplin partai sebetulnya bukan hal yang janggal, karena organisasi dan partai lain telah menerapkannya lebih dahulu, baik Budi Utomo, PKI atau pun NIP. Namun semuanya mengecualikan SI dari disiplin partai mereka, dan tetap membolehkan anggotanya menjadi anggota SI. Hal ini yang menimbulkan kecurigaan di CSI.“Tegasnja partij lain-lain mengetjoealikan S.I, melaikan semata-mata karena keperloean partijnya sendiri hendak mendapat lid banjak.“

Disiplin partai bagi SI tak lain sebagai upaya untuk mendorong orang untuk bersungguh-sungguh bagi anggotanya untuk menerapkan asas yang dianut Sarekat Islam, terutama para pemimpinnya. “Istimewa poela hanjalah pemimpin jang mentjoekoepi sjarat-sjarat itoelah jang boleh diharapkan memadjoekan pergerakan S.I. karena S.I belaka dengan tidak bermaksoed tersemboeni akan mempergoenakan kekoeatan S. I. oentoek maksoed atau keperloean partij jang lain.“

Hal ini menandai babak baru hubungan SI dan PKI. Kerjasama diantara keduanya dirintis bukan lagi dari dalam organisasi, tetapi dari dua organisasi yang berbeda. Kerjasama dirajut oleh keduanya di bawah kendali Tan Malaka, yang sejak kongres PKI nantinya menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski tak lagi di CSI, upaya Tan Malaka yang tetap merajut kerjasama mendapat tanggapan positif.

Ia menyebut,“Sebagai hasil sikap kami di Surabaya, pers tidak lagi menulis dengan sedemikian tajam tentang kaum komunis. CSI, sekalipun dengan rasa bimbang, menyatakan setuju bekerja sama dalam soal-soal politik, dalam suatu ‘Komite Nasional’, dalam soal-soal gerakan buruh dan dalam suatu federasi.”

Tan Malaka memang terus berupaya melakukan kerjasama dengan para tokoh CSI non komunis. Ia bahkan pernah mengajak Surjopranoto untuk bergabung dengan gerakan mereka. Namun sepertinya hal ini tak membawa hasil. Tanggal 24 Desember 1921, tanpa Semaoen yang pergi ke Soviet, Tan Malaka membuka Kongres PKI. Potret-potret pejuang seperti Diponegoro, Kiyai Modjo terpampang bersama potret tokoh-tokoh komunis seperti Marx, Lenin dan Trotsky.

Abdul Muis adalah tokoh CSI yang hadir untuk memenuhi undangan di kongres itu. Kongres PKI tersebut juga dihadiri oleh Ki Bagus Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah, yang menekankan kerjasama diantara kedua kelompok untuk melawan penjajahan. Menurut Tan Malaka, Ki Bagus Hadikusumo menekankan kerjasama diantara pergerakan rakyat. dan barangsiapa yang memecah belah pergerakan rakyat, bukanlah muslim sejati.

Menarik untuk memaknai kehadiran Ki Bagus Hadikusumo di kongres tersebut. Ki Bagus adalah adik dari Haji Fachrodin, tokoh CSI yang beroposisi terhadap kehadiran kelompok komunis di SI. Apakah Ki Bagus berbeda pendapat dengan H. Fachrodin? Sepertinya tidak, kehadiran Ki Bagus-yang dikenal sebagai muslim pendukung tegaknya syariat Islam ini- tampaknya adalah untuk mendukung kerjasama SI dengan kelompok komunis, namun bukan berarti mendukung kehadiran komunis dalam tubuh SI.

Gambar 1.12 Ki Bagus Hadikusumo. Sumber foto: Hadikusuma, Djarnawi. Derita Seorang Pemimpin. Yogyakarta: Penerbit Persatuan

  • Keterangan gambar:  Ki Bagus Hadikusumo. Sumber foto: Hadikusuma, Djarnawi. Derita Seorang Pemimpin. Yogyakarta: Penerbit Persatuan

Tan Malaka memang mendorong terjadinya kerjasama diantara keduanya. Tan Malaka berusaha menyingkirkan cap anti-Islam akibat serangan Lenin pada Pan-Islam. Selepas kongres misalnya, PKI mendukung penentangan terhadap beberapa aturan pemerintah kolonial yang merugikan para jamaah haji dari Hindia Belanda dengan membentuk ‘Komite Haji.’

Dan yang terpenting, kongres tersebut juga meminta Komintern untuk berhenti memusuhi Pan-Islam. Tan Malaka menganggap Pan-Islam sebagai salah satu faktor pembebas dari imperialisme. Hal ini dapat kita lihat dari argumen Tan Malaka di kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-4 pada 12 November 1922. Ia mempertanyakan kembali sikap Lenin yang melawan gerakan Pan-Islam.

Dalam kongres tersebut Tan Malaka menyebutkan bahwa agama Islam adalah segalanya bagi muslim.

“Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. “

  • Gambar 1.13 Tan Malaka. Sumber foto: alhectron.com

    Keterangan foto: Tan Malaka. Sumber foto: alhectron.com

Kongres PKI di bulan Desember tersebut memang sangat dipengaruhi sikap Tan Malaka yang ingin bekerjasama dengan gerakan Islam. Selain itu, kongres ini juga membahas kemungkinan PKI ikut serta dalam Volksraad, suatu opsi yang beberapa tahun lalu mereka cela habis-habisan kepada Sarekat Islam.

Bagaimanapun koalisi tersebut tak banyak berarti. Tahun 1922, Tjokroaminoto bebas dari tahanan. Ia mulai condong pada kubu Haji Agus Salim dan menarik batas dengan PKI. Di Tahun ini Tjokroaminoto memberikan landasan pada perjuangan Sarekat Islam melalui gagasannya yang ia tuangkan dalam tulisan berjudul Islam dan Sosialisme. Sebuah pandangan akan sosialisme Islam. Ia mengkritik cara pandang kaum sosialis dari Barat terlebih orang-orang komunis. Menurutnya, ”Orang-orang sosialis Barat, terlebih lagi orang-orang Bolsjevik atau komunis pada zaman sekarang ini sungguh-sungguh tersesat, jika mereka mencoba melakukan sosialisme dengan memulainya dari puncak, bukan dari dasar.“

Tjokroaminoto kemudian menegaskan sosialisme Islam yang berbeda dengan sosialisme barat. ”Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang sejati dalam tiap-tiap arti kata yang sebenarnya. Ia tidak pernah melakukan paksaan atau perkosaan dalam menyebarkan sosialisme, tidak pernah melakukan suatu ’perang kelas‘, dan tidak pernah pula melakukan atau menyuruh melakukan ’dicatatuur van het proletanaat‘ (kekuasaan yang hanya ada pada kaum miskin).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement