Sabtu 23 May 2020 15:47 WIB
Komunis

Hari Ini 100 Tahun PKI: Jejak Komunis Dalam Sarekat Islam

Jejak komunis dalam perpecahan Sarekat Islam

Ulang tahun PKI pada tahun 1964 di Senayan.
Foto:

Kritik keras Semaoen lewat SI Semarang ternyata bukan saja ditujukan pada pemerintah kolonial, namun juga kepada Centraal Sarekat Islam (CSI). SI Semarang di bawah Semaoen menjadi oposisi bagi CSI. Beberapa isu keduanya bersebarangan. Salah satunya adalah mengenai Ketahanan Aksi Hindia (Indie Werbaar Actie). Meletusnya Perang Dunia I, membuat para pengusaha di Belanda khawatir, ditambah lagi bahwa Hindia Belanda akan terseret juga ke dalam kancah peperangan tersebut dan merugikan kedudukan dan modal mereka di Hindia Belanda. Untuk itu mereka hendak memperkuat pertahanan mereka. Ini berarti orang-orang pribumi di Hindia Belanda dilibatkan sebagai milisi untuk mempertahankan wilayah mereka.

Wacana ini disambut dengan berbagai pendapat. Bagi CSI, Indie Werbaar dapat menjadi daya tawar untuk memperoleh kedaulatan politik di Hindia Belanda. CSI mendukung Indie Werbaar, dengan syarat rakyat Hindia Belanda memperoleh perbaikan kesejahteraan, perluasan pendidikan, hingga kedudukan yang sama dengan orang eropa di mata hukum. Melalui mosi pada kongres nasional pertama Sarekat Islam, mengemukakan bahwa lembaga perwakilan di Hindia Belanda yang dipilih oleh orang-orang pribumi (Indonesia) sendiri dan dipercayakan untuk mengelola pertahanan Indonesia. CSI, khususnya Moeis memang melihat Indie Werbaar lebih dari sekedar soal pertahanan tetapi juga ekonomi dan politik. Melalui lembaga perwakilan rakyat orang-orang pribumi, pada akhirnya nanti Indonesia akan memperoleh kemerdekaan penuh.

Sebaliknya, kubu SI Semarang dibawah Semaoen menolak keras rencana ini. Menurut Semaoen, Indie Werbaar hanya akan merugikan rakyat. Menjadikan rakyat tameng kepentingan kolonial di Hindia Belanda. Dalam tulisannya di Sinar Hindia bulan Agustus tahun 1918, Semaoen menyebutkan orang-orang Jawa sudah melarat, hidup di kandang babi, hanya tulang dan berbalut kulit, maka ”djangan gembar-gembor paksa wong djowo djadi pemboenoeh.“

Sikap SI di mata pemerintah kolonial sebenarnya juga dianggap sikap yang meragu. Rinkes dalam suratnya pada Gubernur Jenderal tanggal 10 Maret 1916 menyimpulkan bahwa alih-alih membuat satu mosi mendukung Indie Werbaar, Tjokroaminoto malah mengusulkan adanya Volksvertegen woordiging, atau perwakilan rakyat dijamin adanya.

Abdoel Moeis adalah salah satu tokoh CSI yang mempropagandakan perlunya dewan rakyat di Hindia Belanda. Bahkan ketika ia berkunjung ke Belanda untuk bertemu dengan pemerintah Belanda dengan tegas menyebutkan tujuan SI adalah otonomi politik. Meskipun ia juga menambahkan sejauh ini CSI puas di bawah kekuasaan Belanda selama pemerintah bisa bersikap cukup adil. Bagaimanapun, pernyataan Moeis membuat Gubernur Jenderal risau.

Pemerintah kolonial pada desember 1916 memang akhirnya mengesahkan UU mengenai Volksraad (dewan rakyat). Namun dewan ini baru dipilih oleh pemerintah kolonial saat tahun 1918. Meski Volksraad hanya sebatas penasehat tanpa ada kewenangan lebih, namun CSI mendukung adanya Volksraad dan bersedia mengirimkan wakilnya duduk di Volksraad. Hal ini disebabkan karena CSI menganggap Volksraad sebagai transisi menuju otonomi politik.[10]

Gambar 1.3 Delegasi Indiewerbaar di negeri Belanda. Abdoel Moeis ketiga dari kiri. Sumber foto: Foulcier, Keith. 2005. Biography, History and The Indonesian Novel Reading Salah Asuhan. BKI 161-2/3

  • Keterangan foto: Delegasi Indiewerbaar di negeri Belanda. Abdoel Moeis (ketiga dari kiri). Sumber foto: Foulcier, Keith. 2005. Biography, History and The Indonesian Novel Reading Salah Asuhan.

     

SI Semarang lagi-lagi bersikap berseberangan dengan CSI. Menurut mereka Volksraad hanyalah toneel (komedi) dan omong kosong. Kritik Semaoen sebagai wakil dari SI Semarang sangat pedas. Baginya Volksraad hanya mengelabui rakyat, seakan-akan pemerintah mendengarkan suara rakyat, padahal sebaliknya. Persoalan komposisi pemilihan anggota pun dianggap bermasalah karena hanya Tjoroaminoto yang dianggapnya mewakili kaum kromo. Semaoen mengajak rakyat untuk dijadikan wayang orang dalam toneel volksraad. Bagi Semaoen,“ Boekan ’Volksraad‘ jang akan bikin baik nasibnja ra’jat, tetapi gerakannja ra’jat sendiri“

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement