REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ronggo Astungkoro
Draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dikritik banyak pihak. Isinya dinilai memberi peran yang berlebihan kepada TNI dalam pemberantasan terorisme. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, berjanji akan menampung semua kritik yang masuk ke pemerintah.
Namun, menurut mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini, yang terpenting semua pihak harus berpijak pada tujuan menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, semua kritik harus didasarkan pada semangat menjaga keutuhan NKRI, bukan justru sebaliknya. Terorisme merupakan salah satu kejahatan yang masuk kategori extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.
“Semua aspirasi masyarakat kita tampung dan kita harus sama-sama, apakah yang dikritik atau yang mengkritik, berpijak pada hal yang sama, yaitu menjaga eksistensi NKRI yang demokratis dan berdasarkan hukum,” kata Mahfud kepada Republika, Selasa (20/5).
Mahfud mengatakan, ia akan melakukan pembahasan mengenai perpres tersebut bersama dengan para pihak terkait di pemerintahan. Mereka akan membahas posisi TNI, Polri, BNPT, masyarakat, dan sebagainya dalam menghadapi terorisme berdasarkan demokrasi dan hukum.
“Bagaimana caranya posisi menempatkan demokrasi dan hukum ini di mana posisi TNI, Polri, BNPT, masyarakat, dan sebagainya dalam menghadapi terorisme itulah yang kita akan bicarakan,” ujar dia.
Di samping itu, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dinilai tidak akan menimbulkan masalah selama sesuai dengan amanat UU 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Agar tidak menimbulkan kekhawatiran serta polemik, maka perpres yang mengatur soal hal tersebut harus mengatur dengan jelas tugas TNI.
Namun, menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, isi dalam draf perpres tersebut dinilai memiliki banyak sisi negatif ketimbang positif. Peran TNI dalam fungsi penangkalan dan penindakan disebut akan mengubah wajah penanggulangan terorisme di dalam negeri menjadi lebih buruk.
Dia menilai, upaya mengatasi aksi terorisme di dalam negeri selama ini berbasis penegakan hukum. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai penjuru dalam upaya pencegahan dan pemulihan, sementara Polri di penindakan.
“Jadi bagi saya, ini bukan lagi soal perlu atau tidak perlu, melainkan soal tepat atau tidak. Karena sayangnya, isi perpres itu justru di luar ekspektasi publik dan justru membuka ruang yang makin luas dan kuat dalam penanggulangan terorisme,” kata Fahmi.
Kendali BNPT
Pemerintah akan membahas draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme bersama dengan Sekretariat Negara (Setneg) pekan ini. Saat ini, perpres tersebut masih berada di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Menurut Fahmi, hal yang paling penting untuk diatur dalam peraturan tersebut yakni tentang koordinasi, penggerakan, pengendalian, dan pengawasan dilakukan pada pelibatan dan peran serta TNI. Seluruh upaya pemberantasan terorisme semestinya berada di bawah koordinasi dan kendali BNPT.
“Perpres malah mengatur, dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan yang dilaksanakan dengan operasi intelijen, teritorial, operasi informasi dan bentuk-bentuk operasi lainnya,” ujar dia
Dia mengatakan, jika mengacu aturan yang ada pada UU 5/2018, perpres yang mengatur tugas TNI tersebut memang diperlukan. Tapi, aturan tersebut seharusnya dibentuk untuk mempertegas batasan peran, kewenangan, serta dalam situasi dan kondisi seperti apa militer boleh dan harus dilibatkan.
Menurut Fahmi, operasi dalam fungsi penangkalan yang akan dijalankan oleh Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI itu tak diatur sama sekali soal bagaimana hubungannya dengan BNPT, Polri dan lembaga-lembaga lain. Tidak jelas antara akan berkoordinasi ataukah subordinasi.
“Tak diatur ya berarti bisa berjalan sendiri, dengan inisiatif sendiri, dan tentu saja mengandung potensi pelanggaran hak-hak sipil yang sangat besar,” ujar dia.
Cek kosong
Kritik sebelumnya juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menilai rancangan perpres tersebut mengancam kehidupan HAM karena pemberian mandat yang teramat luas kepada TNI. Perwakilan dari Kontras, Feri Kusuma, mengatakan, pengaturan itu juga tidak diikuti dengan mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.
Dengan hal tersebut, penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI kepada warga negara di dalam negeri melalui fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang ada pada pasal 2 rancangan perpres tersebut, tidak hanya berbahaya, tapi juga sama saja memberikan cek kosong bagi militer.
“Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mengancam kehidupan HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI,” ujar Feri.