Selasa 19 May 2020 14:02 WIB

Pasar Membeludak, Pengamat: Tarikan Tradisi Lebaran Kuat

Tradisi itu, yakni lebaran itu harus disambut dengan makanan, pakaian, dan kunjungan.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Suasana kawasan pusat pertokoan di Jalan HZ Mustofa, Kota Tasikmalaya, Selasa (19/5). Meski PSBB masih berlangsung, sejumlah toko dan pedagang kaki lima tetap beroperasi dan menimbulkan kerumunan.
Foto: Bayu Adji P
Suasana kawasan pusat pertokoan di Jalan HZ Mustofa, Kota Tasikmalaya, Selasa (19/5). Meski PSBB masih berlangsung, sejumlah toko dan pedagang kaki lima tetap beroperasi dan menimbulkan kerumunan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski masa pandemi Covid-19 belum reda dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih diterapkan, pengunjung di sejumlah pusat perbelanjaan membeludak menjelang lebaran.  Menurut Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati, masyarat mengabaikan aturan PSBB dan seolah-olah meremehkan bahaya Covid-19 karena gravitasi tradisi yang kuat terkait momen hari Raya Idul Fitri.

Ada tradisi bahwa lebaran itu harus disambut dengan pakain-pakaian baru, berkunjung ke sanak saudara, dan makanan untuk menyambut tamu. "Dua bulan kemarin itu sebenarnya taat dan patuh, bulan Ramadhan mau berakhir, mereka mendapatkan tarikan tradisi lebaran yang sangat kuat. Selama ini mereka sudah di rumah, jadi mereka anggap tidak apa-apa jika keluar sebentar, hanya lebaran doang kok," saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (19/5).

Baca Juga

Faktor selanjutnya, sambung Devie, secara empirik mereka tidak benar-benar pernah melihat seperti dampak orang yang terkena Covid-19. Ia mengatakan Covid-19 berbeda dengan demam berdarah yang membuat banyak orang memiliki pengalaman dengannya, baik dirinya, saudara, atau kerabatnya.

Sementara Covid-19, mereka hanya tahu dari pemberitaan, tetapi tidak benar-benar tahu. Selain itu, mereka juga sudah enggan mendengar atau membaca berita tentang Covid-19.

Selanjutnya adalah karakter permisif masyarakat. Menurut Devie, di kondisi normal pun masyarakat permisif terhadap aturan-aturan. 

Misalkan, di jalanan banyak orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), anak-anak sudah mengemudi. Karena itu, tidak heran jika saat bencana nasional pun banyak yang masih melanggarnya aturan PSBB. 

"Ditambah faktor kelima, yaitu kebijakan yang paradoks. mudiknya dilarang misalnya  tapi pesawatnya bisa terbang, bisnya bisa jalan.  Tidak boleh belanja tapi mallnya diijinkan buka," keluh Devie.

Namun, ia tidak sepakat dengan generalisir bahwa masyarakat tak takut dan tak taat PSBB. Apalagi, sebelum masa-masa menyambut lebaran, masyarakat Indonesia cukup taat dan patuh terhadap aturan selama pandemi Covid-19 dibandingkan negara-negara lain. 

"Saya tidak sepakat jika dikatakan bahwa masyarakat kita tidak ta’at tidak takut Covid-19, justru kita negara dengan salah satu komunitas paling mudah dikelolah," ujar Devie.

Devie mendorong, pemerintah agar tidak pernah lelah melakukan sosialisasi secara massif dan intens kepada masyarakat terkait Covid-19 dan aturan PSBB. Sebab, masyarakat Indonesia masuk dalam kategori budaya short term society atau masyarakat jangka pendek. 

Artinya masyarakat Indonesia tidak terbiasa melakukan berbagai persiapan untuk jangka panjang. "Cepat lupa, jadi harus diingat kembali bahwa sekarang ini lebaranya beda, tidak ada sholat ramai-ramai, tidak boleh berkunjung, sehingga tidak memerlukan baju baru dan dan tidak memerlukan makanan untuk menyambut tamu," kata Devie.

Selain melakukan sosialisasi yang tiada henti, juga harus ada sistem kontrl lalulintas manusia yang berlapis dimulai dari tingkat RT. Tentunya penegakkan disiplin juga harus ditunjang dengan peraturan yang konsisten dan tidak membuat bingung masyarakat itu sendiri. 

Di media sosial, iral video mauun tangkapan gambar terkait aktivitas masyarakat berbelanja di pasar dan mal. Bahkan mereka mengabaikan aturan physical distancing dengan berkerumun saat mengunjungi pasar maupun mal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement