Selasa 19 May 2020 04:42 WIB

Covid-19, Usul Cetak Uang: Realitas dan Dilema

Ide mencetakk uang untuk atasi krisis ekonomi sangat dilematis dan sulit diwujudkan.

Ramson Siagian, Anggota DPR Komisi XI
Foto:

Upaya memperoleh Repo line oleh BI dari The Federal Reserve sebesar USD 60 miliar atau setara Rp 900 triliun saat kurs Rp 15.000, dan menjadi setara  Rp 1.002 triliun saat kurs Rp 16.700,- adalah upaya yang tepat untuk persiapan operasi moneter selanjutnya dan lebih tepat daripada  melaksanakan usulan cetak uang yang risiko terlalu tinggi. 

Memang ada juga dalam pelaksanaan Quantitative Easing sebagai bagian dari Modern Monetary theory  memberi contoh kebijakan The Bank of Japan. Tapi dalam pelaksanaan teori teori ekonomi dan moneter tentunya dipengaruhi oleh banyak variabel. 

Pada awal 2020 Jepang memiliki Cadangan Devisa sekitar USD  1,387 miliar (satu triliun tiga ratus delapan puluh tujuh miliar US Dollar). Variable jumlah cadangan devisa Bank of Japan membuat Jepang lebih bebas bervariasi menjalankan Quantitative Easing, berbeda dengan Indonesia yang hanya mempunyai cadangan devisa sekitar USD 130 miliar (seratus tiga puluh miliar US Dollar) serta  posisi variable variabel lain seperti struktur investor Surat Utang Negara, dll.

Jika Bank Indonesia melakukan kesalahan strategis dalam membuat kebijakan moneter, selain laju inflasi akan meningkat tajam  posisi rupiah akan melemah tajam  dan cadangan devisa juga akan berkurang siknifikan  karena  potensi terjadinya capital flight, dan nilai utang serta bunga utang  foreign currency baik pemerintah maupun swasta jika dikonversi dengan rupiah akan membengkak tak terkendali. 

Kita tentu tidak perlu dengan kacamata kuda melihat perkembangan Quantitative Easing.  Intinya jika dilihat dari salah satu basis teori moneter MV=PT, poinnya  untuk menggerakkan ekonomi saat ekonomi melambat atau saat ekonomi menunjukkan potensi resesi memerlukan peningkatan likuiditas atau  pelonggaran uang  (M) secara besar besaran. 

Hanya model model pelonggaran uang (M) berkembang antara lain dengan Quatitative Easing itupun dengan berbagai model yang dipengaruhi berbagai variabel agar tidak timpang atau agar tetap bisa terjadi economic equilibrium. 

Tetapi dengan lockdown, dengan SPBB  ketat untuk waktu yang lama malah terjadi perubahan terpaksa  disebagian besar masyarakat yang mempunyai uang untuk  menahan uangnya karena sempitnya ruang untuk membelanjakannya, dan variabel Transaction (T) menjadi jauh dibawah normal sehingga peningkatan likuiditas, pelonggaran uang (M) kurang efektif.

Dari data di rapat  virtual posisi tgl 21 April jumlah simpanan di perbankan ada sekitar Rp 6.110, 5 Triliun, dan jumlah  kredit Rp 5.647 Triliun serta Asset perbankan sekitar Rp 8.376,3 Triliun, logikanya kalau 75% pergerakan ekonomi berhenti,  kredit yang sudah disepakati pun akan banyak yang menganggur (idle) dan tidak efektif untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak efektif untuk mendorong peningkatan variabel konsumsi (C) dan variabel investasi (I) tapi disatu sisi debitur akan terus  menerus membayar angsuran dan atau bunga kredit.

Dilema

Pada salah satu rapat virtual, saat Menteri Keuangan dengan ekspresi yang prihatin memaparkan proyeksi pertumbuhan ekonomi skenario berat sekitar 2,3%  dan skenario sangat berat sekitar -0,4% (minus 0,4% ). Juga, menjelaskan pertumbuhan ekonomi China kuartal pertama 2020 sekitar -6,% (minus 6,5%). 

Saya sampaikan kepada Menkeu, untuk sekarang ini tidak perlu terlalu fokus ke proyeksi pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana agar puluhan juta Rakyat Indonesia yang bekerja di sektor informal dan formal yang kehilangan pendapatan dapat memperoleh bantuan sosial  dan lain lain dengan tepat sasaran.

Karena sulit membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi dengan PSBB yang ketat,  dengan masyarakat yang tinggal  diam  di rumah  potensial pergerakan ekonomi sekitar 75% berhenti, bagaimana membuat  target pertumbuhan ekonomi? sementara masyarakat pada berhenti di rumah.

Setahu saya belum ada teori teori ekonomi, ataupun  pemikiran pemikiran para  pemikir ekonomi dengan asumsi masyarakat berhenti untuk waktu yang lama di rumah, karena dengan lockdown negara negara di dunia jelas berdampak sekitar 75% global demand and supply berhenti, bukan melambat, dan dengan PSBB ketat di Indonesia juga potensial sekitar 75%  domestic demand and supply  berhenti.

John Maynard Keynes pemikir ekonomi yang banyak pengikutnya itu mengupas cukup panjang hal the propensity to consume untuk mendorong peningkatan the aggregate demand, apalagi saat lesu perekonomian dan atau saat ada resesi, tapi tidak satu asumsipun teori tersebut  menjelaskan bagaimana kalau masyarakat berhenti di rumah untuk waktu yang lama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement