Kamis 14 May 2020 17:33 WIB

BPJS Naik, KSP: Penerimaan Negara Juga Turun Drastis

Ada dua alasan utama di balik keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 seperti digariskan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 seperti digariskan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Presiden (KSP) ikut buka suara terkait polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II per Juli 2020 nanti. Plt Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan menjelaskan, ada dua alasan utama di balik keputusan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres 64 tahun 2020.

Pertama, adanya kekosongan hukum yang mengatur tentang iuran BPJS Kesehatan pascaputusan Mahkamah Agung (MA) dengan dikabulkannya permohonan uji materi terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itulah yang menjadi cikal bakal kenaikan iuran BPJS Kesehatan per Januari 2020.

Sementara alasan kedua, ujar Abet, adalah upaya menjaga kemampuan operasional BPJS Kesehatan untuk tetap melayani para peserta jaminan kesehatan. Selain itu, kebijakan ini diambil demi memastikan kemampuan BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra.

Kendati begitu, Abet juga meminta masyarakat memahami bahwa negara dalam situasi yang serbasulit di tengah pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, kebijakan kenaikan iuran ini memang menuntut solidaritas masyarakat untuk bersama-sama menghadapi situasi sulit ini.

"Bahwa negara juga dalam situasi yang sulit kan. Artinya penerimaan negara juga turun drastis. Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini. Yang menjadi penting itu perlu dimonitor oleh masyarakat," ujar Abet, Kamis (14/5).

Pemerintah, ujarnya, tetap meminta peran serta masyarakat untuk tetap mengawasi keberlangsung pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan. Ia pun tidak menutup kemungkinan akan ada intervensi yang dilakukan kementerian apabila ada gangguan dalam pengelolaan ke depan.

Abet menambahkan, Perpres 64 tahun 2020 ini juga mengatur mengenai pemberian subsidi bagi peserta kelas III dan subsidi penuh bagi penerima bantuan iuran. Mengacu pada pasal 29 Perpres 64 tahun 2020, pemerintah memang menanggung iuran bagi peserta PBI (penerima bantuan iuran).

Pasal 34 beleid yang sama juga menyebutkan bahwa pemerintah menanggung iuran kelas III untuk tahun 2020 sebesar Rp 16.500 per orang per bulan, dari angka aslinya Rp 25.500 per orang per bulan.

Sementara untuk tahun 2021, iuran kelas III mengalami kenaikan menjadi Rp 35.000 per orang per bulan. Dari angka tersebut, Rp 7.000 ditanggung pemerintah pusat atau daerah. Pemerintah daerah juga dimungkinkan menanggung sebagian atau keseluruhan iuran kelas III.

"Makanya dari Perpres yang digugat, itu kan sebenarnya mempertimbangkan aspek itu. Jadi ada yang memang dalam penyesuaian itu ada tanggung jawab untuk memperbaiki layanan misalnya informasi rumah sakit," ujar Abet.

Pemerintah, jelasnya, menjamin bahwa kenaikan iuran nanti juga akan dibarengi dengan perbaikan keseluruhan sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Perbaikan yang dimaksud misalnya adalah sistem informasi ketersediaan tempat tidur pasien yang kini lebih transparan. Menurutnya, pemerintah sejak awal memang ingin melakukan perbaikan tata kelola dalam tubuh BPJS Kesehatan.

Selain itu, menurutnya, peserta BPJS Kesehatan juga memiliki opsi untuk pindah kelas bila memang dirasa kurang mampu. Misalnya, peserta kelas I yang merasa kesulitan dengan tarif baru dan memilih untuk turun ke kelas II atau kelas III.

"Dalam konteks ini kalau dari sisi pemerintah itu dimensi sustainability itu jadi penting. Jangan sampai sekadar, ini opini saya, jangan kita mempertahankan yang lama tapi ada defisit, yang akhirnya justru memperlambat proses penyelesaian tanggung jawab kita ke rumah sakit," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement