Rabu 13 May 2020 23:51 WIB

Kivlan Zen Sebut Didiskriminasi dalam Kasus Senjata Api

Kivlan Zen menggugat UU tentang Senjata Api ke Mahkamah Konstitusi.

Terdakwa kasus kepemilikan senjata api ilegal Kivlan Zen
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus kepemilikan senjata api ilegal Kivlan Zen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus penyeludupan senjata api Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen menyebut telah terjadi diskriminasi dalam penanganan kasusnya. Karena itu, ia menderita kerugian konstitusional dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (13/5).

Ia mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api ke Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang perdana itu, ia dan kuasa hukum lebih banyak menjelaskan kronologi kasus dari mulai penangkapan pada 29 Mei 2019 hingga penetapan dirinya sebagai tersangka serta vonis sejumlah terpidana kasus serupa yang berkaitan dengan kasusnya.

Baca Juga

Diskriminasi yang didalilkan saat penangkapan, antara lain tanpa pendampingan kuasa hukum, penangkapan tidak sah dan penahanan yang juga tidak sah. "Pemohon ditangkap oleh petugas Polda Metro Jaya dengan senjata api tanpa pernah menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan sehingga tidak mengetahui perbuatan pidana apa yang disangkakan," kata Kivlan Zen.

Menurut dia, penuntutan serta vonis yang berbeda-beda antara tersangka kasus serupa juga merupakan suatu bentuk diskriminasi.

Kemudian Kivlan Zen mempersoalkan penangguhan penahanan Mayjen TNI (Purn) Soenarko yang telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus yang sama setelah mendapat jaminan dari sejumlah pihak, di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Dengan adanya diskriminasi itu, Kivlan Zen meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan pemohon perlu mengaitkan kasus konkret dan undang-undang yang disebut menimbulkan ketidakpastian hukum. "Mahkamah Konstitusi tidak mengadili kasus konkret soal Anda menguraikan dakwaan jaksa ini kemudian disalahgunakan karena ada ketidakpastian karena ada susunan kata atau frase atau tanda baca, itu sebenarnya wilayahnya tataran empirik yang dimiliki peradilan konkret," ujar Suhartoyo.

Apabila hanya penjabaran kasus konkret yang terjadi tanpa menguraikan kedudukan hukum, dikatakannya tidak terdapat gambaran ketidakpastian hukum yang didalilkan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement