REPUBLIKA.CO.ID, oleh Intan Pratiwi, Febrianto Adi Saputro
Komisi VII DPR RI dan Pemerintah menyepakati naskah revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba. Dengan begitu, naskah revisi akan dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR sebelum disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (12/5).
Naskah revisi hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) telah disepakati oleh mayoritas fraksi di Komisi VII DPR RI bersama dengan pemerintah yang diwakili lima Kementerian. Dari sembilan fraksi yang menyampaikan pendapat akhir terhadap naskah revisi UU Minerba, hanya Fraksi Partai Demokrat yang tidak sepakat, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menarik diri untuk memperbarui pandangannya.
Dengan begitu, Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno mengatakan bahwa naskah revisi UU Minerba sudah bisa dibawa ke dalam Sidang Paripurna.
"Apakah kita sepakat agar RUU Minerba untuk dilakukan pembahasannya pada pembicaraan tingkat II dalam Sidang Paripurna DPR RI?" kata Eddy, yang diikuti kata 'setuju' peserta rapat yang hadir, di gedung DPR, Senin (11/5).
Dalam kesempatan tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif yang mewakili pemerintah mengungkapkan bahwa revisi UU Minerba hasil Panja telah menambah dua Bab dan 51 Pasal, mengubah 83 Pasal serta menghapus sembilan Pasal. Total perubahan pasal berjumlah 143 dari 217 pasal, atau 82 persen dari jumlah pasal yang ada dalam UU UU Nomor 4 Tahun 2009
"Mengingat bahwa jumlah pasal UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengalami perubahan sangat besar, kami mengharapkan agar dorum rapat ini dapat mempertimbangkan penyusunan RUU Minerba menggunakan konsep RUU penggantian, bukan perubahan," kata Arifin.
Sementara itu, Ketua Panja RUU Minerba Bambang Wuryanto mengungkapkan, naskah revisi UU Minerba ini juga telah diharmonisasi dengan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Ia pun menerangkan, Panja revisi UU minerba dibentuk pada 13 Februari 2020.
Saat itu, dari jumlah 938 Daftar Isian Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah, disepakati 235 DIM dengan rumusan tetap sehingga langsung disetujui, serta ada 703 DIM yang dibahas dalam Panja. "Selanjutnya dilakukan pembahasan Panja bersama Tim Pemerintah secara intensif dimulai 17 februari 2020 hingga 6 Mei 2020," ungkapnya.
Bambang pun menolak jika pembahasan revisi UU Minerba ini dilakukan secara terburu-buru. Pasalnya, revisi ini telah disiapkan sejak tahun 2016. Selain itu banyak DIM yang sama sehingga tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Jika ada pihak yang tidak sepakat dengan hasil revisi ini, sambung Bambang, pihaknya mempersilan untuk mengajukan gugatan judicial review. "Pembahasan terlalu cepat? Jawaban kami, ini disiapkan 2016. Pembahasan perundangan mesti dipahami. Kalau ada yang tidak pas, judicial review saja," tandasnya.
Fraksi Partai Demokrat jadi satu-satunya partai yang menolak RUU Minerba disahkan menjadi undang-undang. Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo menilai RUU Minerba tidak tepat disahkan di tengah pandemi Covid-19.
"Di saat negara dalam keadaan genting, di saat masyarakat juga menderita akibat pandemi Covid-19, rasanya kurang tepat apabila DPR RI membahas hal-hal lain yang di luar dalam kaitannya penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19," ungkapnya.
Delapan poin
Dalam pembahasan RUU Minerba, disepakati ada delapan poin yang menjadi inti penting dalam perubahan aturan ini. Pertama, pemerintah akan memberikan jaminan untuk memberikan perizinan kegiatan usaha pertamabangan. Hal ini akan dituangkan dalam UU Minerba yang baru bahwa kedepan dari pemerintah pusat tidak melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang telah ditetapkan. Kedua, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha.
"Jadi yang kemarin langsung keluar izin bahasanya diubah menjadi perizinan berusaha dalam rangka mengakomodir RUU Ciptaker," ujar Ketua Panja RUU Minerba Bambang Wuryanto, Senin (11/5).
Ketiga, bagian pemerintah daerah dari hasil kegiatan pertambangan dinaikkan dari sebelumnya 1 persen menjadi 1,5 persen. Keempat, kewajiban IUP dan IUPK untuk menggunakan jalan pertambangan yang dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dapat dibangun sendiri maupun kerja sama.
"Adanya kewajiban IUP dan IUPK untuk mengalokasikan dana untuk melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan rakyat yang besaran minimumnya ditetapkan menteri," ujar Bambang.
Kelima, dalam RUU ini juga mengatur kewajiban divestasi perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh asing. "Kewajiban badan usaha pemegang IUP operasi produksi atau IUPK operasi produksi yang sahamnya dimiliki asing untuk melakukan divestasi saham secara langsung 51 persen secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan atau badan usaha swasta nasional," paparnya.
Keenam, kewajiban untuk IUP untuk menyediakan dana ketahanan cadangan mineral dan batu bara untuk kegiatan penemuan cadangan baru. Dan ketujuh, kewajiban reklamasi dan pascatambang sebelum mengembalikan WIUP atau WIUPK hingga tingkat keberhasilan 100 persen. Terakhir, inspektur tambang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dalam aturan ini.
"Tanggung jawab pengelolaan anggaran, sarana, prasarana serta operasi inspektur tambang dibebankan pada menteri maksudnya pemerintah," ujarnya.