Sabtu 09 May 2020 05:10 WIB

Jabodetabek-Banten Sepakat Kendalikan Pergerakan di KRL

Ditemukan kasus warga positif covid-19 di KRL.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Muhammad Hafil
Jabodetabek-Banten Sepakat Kendalikan Pergerakan di KRL. Foto: Swab Test Massal. Petugas medis menunjukkan sampel swab test penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/5/2020)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Jabodetabek-Banten Sepakat Kendalikan Pergerakan di KRL. Foto: Swab Test Massal. Petugas medis menunjukkan sampel swab test penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/5/2020)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Provinsi Jawa Barat (Jabar), DKI Jakarta, dan Banten sepakat mengusulkan pengendalian penyebaran COVID-19 di Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line ke pemerintah pusat usai ditemukannya penumpang positif COVID-19 di KRL.

Hal itu dibahas dalam video conference bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan bupati/wali kota Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) serta Sekretaris Daerah Banten yang diikuti Gubernur Jabar Ridwan Kamil dari Gedung Pakuan, Kota Bandung, Jumat (8/5).

Baca Juga

Ridwan Kamil menilai, KRL yang merupakan tempat berkerumunnya warga itu, identik dengan sifat virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang menyebar melalui kerumunan orang.

“Kita tahu COVID-19 ini penyakit kerumunan. Di mana ada kerumunan, di situ ada COVID-19. Nah, salah satu kelompok kerumunan adalah KRL,” ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil.

Emil mengatakan, sebelumnya sudah menyetujui usulan pertama para wali kota/bupati Bodebek untuk menghentikan KRL. Namun, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (RI) tetap mengizinkan KRL beroperasi.

“Sekarang mengemuka lagi (penghentian KRL), saya juga sangat mendukung. Karena problem-nya adalah OTG (Orang Tanpa Gejala)," katanya.

Jadi, kata dia, walau sudah ada protokol kesehatan di KRL, OTG ini tidak ketahuan padahal membawa virus. Yang menjadi fundamental juga adalah yang mencari nafkah di Jakarta, selama kantornya memang masih buka, maka alasan warga untuk bepergian itu tidak bisa dihindari.

Untuk itu, Emil mengusulkan beberapa hal melalui video conference tersebut agar penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik khususnya KRL Jabodetabek bisa dikendalikan. Dia meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi DKI Jakarta bersama pemda Bodetabek mengusulkan kembali penghentian operasional KRL berdasarkan data dan fakta penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik.

"Pertama, aspirasi awal dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, yang akan diperkuat oleh para bupati/wali kota (Bodetabek) sebagai penyangga Ibu Kota,” katanya.

Kedua, Emil meminta agar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan untuk perusahaan yang masih beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mendata karyawannya yang tinggal di luar Jakarta, sehingga didapat data jumlah penumpang KRL sekaligus mempermudah aturan yang dibuat.

Selain itu, kata dia, dengan penerapan PSBB di Jabodetabek, Emil mengusulkan dua opsi bagi perusahaan yang masih ingin beroperasi saat PSBB. Pertama, perusahaan menyediakan kendaraan antar jemput karyawan.

Kedua, kata dia, perusahaan menggelar tes metode Polymerase Chain Reaction (PCR) secara mandiri. Hasil tes tersebut bisa menjadi dasar keputusan dibuka atau ditutupnya perusahaan. Apabila hasilnya menunjukkan perusahaan bebas COVID-19, maka perusahaan tersebut bisa dibuka. Sebaliknya, apabila ada karyawan yang positif COVID-19, maka perusahaan itu harus berhenti beroperasi.

“Opsinya ada dua, menyediakan kendaraan oleh perusahaan. Saya kira itu konsekuensi, Anda mau buka di saat PSBB, Anda juga bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawan yang tidak semuanya tinggal di Jakarta,” katanya.

Opsi kedua, kata dia, seperti yang ia lakukan di Jawa Barat. Perusahaan yang buka (beroperasi) harus melakukan tes COVID-19 dengan biaya sendiri. "Mungkin ini bisa jadi solusi juga, sehingga kasarnya orang yang berpergian itu bebas COVID-19 dengan bukti tes PCR,” kata Emil.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuturkan bahwa pengendalian pergerakan orang dari luar Jakarta ke Jakarta dan sebaliknya harus menjadi perhatian utama untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Namun, kata dia, fakta di lapangan, meskipun telah diterapkan PSBB dan kebijakan larangan mudik, memasuki pekan kedua Ramadan ini pergerakan orang ke Jakarta atau sebaliknya masih terjadi.

“Kami mengundang beberapa ahli epidemiologi, mereka menunjukkan potensi penyebaran (COVID-19) apabila pergerakan penduduk antar wilayah itu dibiarkan,” kata Anies.

Menurutnya, ada dua pergerakan. Yakni, pergerakan di dalam Jabodetabek yang harus dikendalikan umumnya lewat KRL. Lalu yang kedua adalah pengendalian pergerakan dari Jabodetabek ke luar Jabodetabek. "(Apabila tidak dikendalikan) konsekuensinya kenaikan kasus (positif COVID-19) di daerah,” katanya.

Oleh karena itu, Anies berujar bahwa regulasi dan penegakan regulasi yang ketat menjadi sangat penting dalam menekan pergerakan warga. Selain itu, perlu juga dilakukan kembali usulan kepada Kementerian Perhubungan RI dalam mengendalikan pergerakan KRL dan penumpangnya.

“Kita akan membuat aturan bahwa orang harus memiliki surat izin untuk masuk-keluar wilayah Jakarta. Yang akan saya usulkan surat izin keluar masuk wilayah Jabodetabek, sehingga untuk bepergian itu harus membawa surat izin itu,” kata Anies.

Adapun Wali Kota Bogor Bima Arya menjelaskan, sebagian warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 disebabkan oleh adanya aktivitas di Jakarta. Termasuk sebanyak 30 persen warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 adalah pengguna layanan transportasi publik ke Jakarta, salah satunya KRL.

“Sebagian itu terpapar karena ada konektivitas dengan Jakarta dan sekitarnya. Jadi, sebagian besar itu ada kaitannya dengan Jakarta, entah bekerja di Jakarta atau pasangannya bekerja di Jakarta atau pernah mengunjungi Jakarta,” kata Bima.

Sebelumnya, Bima bersama bupati/wali kota Bodebek pun telah melakukan koordinasi terkait operasional KRL. Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari koordinasi tersebut, di antaranya para kepala daerah Bodebek akan menyampaikan secara resmi permintaan kepada Kementerian Perhubungan RI untuk mengevaluasi kembali kebijakan operasional KRL.

“Kami minta dua opsi. Opsi pertama, adalah stop total (KRL) dengan kewajiban bagi pengusaha atau kantor di Jakarta menyediakan layanan jemput,” kata Bima.

Opsi kedua, kata dia, adalah, kalaupun tidak mungkin berhenti total ia memberikan opsi ada pembatasan yang lebih ketat. "Bisa dalam bentuk penumpang yang naik memiliki identitas, ada gerbong yang ditambah, ada jadwal yang ditambah, petugas yang ditambah, dan lain-lain,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement