REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengkhawatirkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini yang diprediksi terjadi selama kurun waktu Juni hingga Agustus bisa memperburuk pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Sebab, asap karhutla yang meningkat membuat masyarakat di daerah tersebut membutuhkan masker wajah, padahal di saat yang bersamaan masker juga diperlukan tenaga medis hingga masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu mengungkap, saat asap karhutla membumbung membuat masyarakat setempat harus memakai masker jenis N95. Padahal, dia melanjutkan, ketersediaan masker di masa Covid-19 ini hanya diperuntukkan bagi petugas. Sementara, seharusnya masyarakat memakai masker N95 di masa karhutla.
"Ini yang membuat akan terjadi kelangkaan masker. Apalagi kalau melihat prediksi (karhutla) selama Juni, Juli, Agustus tahun ini di beberapa titik wilayah berbeda seperti di Sumatra, Kalimantan yang terjadi bersamaan dengan pandemi Covid-19 yang belum berakhir," ujarnya saat webinar BNPB, Jumat (8/5).
Jadi, dia menambahkan, prediksi fenomena kebutuhan masker ini harus dicermati. Selain itu, ia menyebutkan ini juga menjadi masalah jika seseorang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) saat terjadi karhutla dan ia terinfeksi Covid-19. Ia memprediksi ini pasti memperberat kondisi kondisi pasien. Ia menyebutkan ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa korelasi antara tingginya tingkat kematian dan tingginya tingkat polusi di wilayah terdampak.
Persoalan lainnya, dia menambahkan, tingginya panas suhu saat karhutla sangat berbahaya untuk penderita Covid-19. Ia menjelaskan, baik penderita Covid-19 maupun yang menghirup asap karhutla memang sama-sama merasakan ISPA tetapi angka gangguan pernapasan saat karhutla dikhawatirkan akan meningkat dan membahayakan para penderita Covid-19.
"Tentu ini perlu kesadaran petugas kesehatan untuk bisa menangani dengan baik sehingga keadaan pasien Covid-19 yang ada di wilayah karhutla ini tidak memburuk. Jangan sampai karena menganggap ini hal yang sepele kemudian lupa kalau sekarang pandemi Covid-19," katanya.
Ia meminta perlu ada penetapan-penetapan protokol mengenai hal ini. Ia menyebutkan protokol kesehatan Covid-19 saat karhutla sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasa diantaranya physical distancing 1 sampai 2 meter, beraktivitas di rumah hingga menggunakan masker wajah saat keluar rumah. Yang sedikit berbeda, dia menambahkan, dibutuhkan adanya tempat yang luas untuk evakuasi yang dibedakan antara penderita Covid-19 dan penjernih udara.
Di satu sisi, ia menegaskan layanan kesehatan juga rutin dilaksanakan, khususnya pemberian obat-obatan tidak boleh putus di tengah jalan diantaranya penderita tuberkulosis (TB), Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) juga harus minum obat seumur hidup, hingga hepatitis B untuk ibu hamil.
"Mungkin ada hotline yang dibuat oleh daerah-daerah sehingga pemantauan lebih efektif dan lebih efisien. Memang dibutuhkan kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kesehatan," katanya.