REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Seorang warga tak mampu secara ekonomi di Nyamplungan, Kota Surabaya, Jawa Timur, yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19 mengeluhkan mahalnya biaya tes swab di rumah sakit swasta.
Disebutkan, biaya tersebut mencapai Rp 2,2 juta. Dilansir dari Antara, pasien tersebut harus menanggung sendiri biaya tersebut tanpa ada bantuan dari pemerintah kota setempat.
Hal tersebut diceritakan oleh Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti di Surabaya, Kamis (7/5). "Kemarin, Rabu (6/5), saya terima pengaduan dari salah seorang warga tak mampu yang bekerja sebagai cleaning service. Ia mengadu ke saya soal mahalnya biaya swab yang mencapai Rp2,2 juta," kata dia.
Reni menjelaskan pada awalnya warga yang bekerja sebagai cleaning service di salah satu perusahaan di Surabaya utara itu mengalami sakit demam. Orang tersebut kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat selama dua kali.
Hanya saja, lanjut dia, pihak Puskesmas saat itu tidak menyarankan untuk ikutrapid test atau tes cepat COVID-19. Namun kantor tempatnya bekerja memintanya untuk ikut rapid test, sehingga orang tersebut melakukan rapid test dan hasil tes dinyatakan positif COVID-19.
Mendapati hal itu, lanjut dia, warga tersebut berinisiatif sendiri melakukan tes lanjutan atau swab di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Saat dilakukan swab, warga tersebut disarankan dokter untuk rawat inap di rumah sakit.
Namun warga tersebut tidak mengikuti saran dokter karena tidak mampu untuk biaya rawat inap di rumah sakit. Selain itu, warga tersebut juga diminta pihak rumah sakit membayar tes swab sebesar Rp 2,2 juta.
"Saat video call dengan saya, beliau mengeluh mahalnya biaya swab yang harus ditanggung sendiri. Sekarang, beliau melakukan isolasi diri di rumah kontrakan adiknya. Karena kalau di rumahnya takut nular ke anaknya," ujarnya.
Untuk itu, Reni menyampaikan persoalan tersebut ke Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya dengan maksud agar biaya tes swab orang tersebut diganti Pemkot Surabaya dan yang bersangkutan mendapat pendampingan dari Puskesmas setempat.
"Perlu solusi sistemik, jadi tidak hanya kasus per kasus. Kasus yang ada ini harus jadi bahan evaluasi. Jangan sampai ada yang harus menjalankan tes swab atas saran rumah sakit, namun terkendala biaya. Warga kurang mampu mesti biayai sendiri," katanya.
Selain itu, lanjut dia, jangan sampai ada yang PDP namun pihak Puskesmas atau dinas kesehatan belum tahu. Untuk itu, Reni meminta Dinas Kesehatan menyampaikan hal itu ke rumah sakit swasta.
"Siapa pun warga Surabaya yang rapid test-nya positif maka tes swab akan ditanggung oleh Pemkot Surabaya dan perawatan selama di rumah sakit dibiayai APBD, utamanya bagi yang tidak mampu," katanya.
Selanjutnya bagi yang PDP tersebut, kata dia, disiapkan ruang isolasi, jika rumah untuk isolasi mandiri tidak layak. "Ini kan wabah penyakit yang menular, harus penanganan ekstra dengan dibantu APBD," katanya.
Reni berharap agar tidak ada kejadian seperti yang dialami bunda PAUD status PDP yang dirawat di rumah sakit swasta rujukan COVID-19 Maret lalu yang milih pulang karena berat dibiaya. Beberapa hari kemudian meninggal dunia saat tes swab hasilnya positif.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita belum bisa dikonfirmasi terkait hal ini. Saat dihubungi melalui ponselnya terdengar nada sambung namun tidak diangkat.