Rabu 06 May 2020 10:45 WIB

Perludem: Perppu Pilkada Masih Menyimpan Kegamangan

Perludem nilai Perppu Pilkada masih menyimpan kegamangan dalam pelaksanaan Pilkada.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada masih menyimpan kegamangan dan situasi ketidakpastian pelaksanaan Pilkada 2020.

Hal itu dilihat dari ketentuan dalam Perppu yang menyatakan, pemungutan suara dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid 19 belum berakhir pada Desember 2020. "Perppu Pilkada masih menyimpan kegamangan dan situasi tidak pasti dengan adanya pengaturan pada Pasal 201A ayat (3)," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5).

Baca Juga

Pasal 201A ayat (3) itu berbunyi, "Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A". Dalam lembar penjelasannya, pemungutan suara serentak pada Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Covid 19 belum berakhir. Penundaan itu melalui mekanisme persetujuan bersama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan Pemerintah.

"Terlihat bahwa Pemerintah melalui Perppu ini, meski mengatur pemungutan suara pilkada serentak 2020 pada Desember 2020, tapi tetap menyimpan ketidakyakinan terkait situasi pandemi yang dihadapi," katanya.

Menurutnya, pemerintah alih-alih memilih waktu yang lebih memadai untuk melakukan persiapan dan penyesuaian penanganan Covid 19, misalnya menunda hingga Juni 2021. Pemerintah justru menyerahkan skema kemungkinan penundaan kembali pilkada melalui kesepakatan KPU, Pemerintah, dan DPR. Ketika pemungutan suara digelar Desember 2020, maka KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni. Artinya, kata Titi, akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhirnya.

Sementara, lanjut dia, pelaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemi memerlukan dukungan semua pemangku kepentingan pilkada. Mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih agar disiplin ketat pada kepatuhan protokol kesehatan penanganan pandemi Covid 19.

Menurut Titi, hal itu mengandung risiko tersendiri terutama bila tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas proteksi kesehatan pada para petugas pemilihan. Dengan demikian, tentu perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan Covid 19. Misalnya saja, keperluan pengadaan masker, hand sanitizer, disinfektan, dan lain-lain. Pemenuhan protokol pencegahan kesehatan ini dilakukan Korea Selatan dalam melaksanakan pemilihan legislatif dengan menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan.

Titi mengatakan, KPU semestinya harus merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan Covid 19. Khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak berisiko menyebarkan Covid 19.

Contohnya, teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih, pendaftaran calon, maupun kampanye, dan pemungutan suara. Tahapan pemilihan itu semestinya sesuai dengan kebijakan jaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penyebaran Covid 19. Namun, Titi menilai Perppu kurang menangkap kebutuhan teknis ini agar bisa diatur dengan berbagai peraturan teknis yang dibuat penyelenggara pemilu. 

Sehingga, ia menganggap, pilkada Desember 2020 masih membawa risiko kesehatan pada para pihak yang terlibat di pemilihan, khususnya bila KPU tidak mampu menyiapkan teknis pemilihan sesuai protokol penanganan Covid 19. "Jadi bisa disimpulkan bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2020 ini masih setengah hati dalam memberikan kepastian hukum keberlanjutan pilkada serentak 2020. Ada kepastian tapi belum sepenuhnya pasti," tutur Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement