REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, menyayangkan program pelatihan daring dalam program Kartu prakerja dari pemerintah. Menurutnya, program ini mengabaikan keberadaan sekolah berbasis pendidikan masyarakat (Dikmas) yang sudah terlebih dulu ada.
"Ada puluhan ribu lembaga yang sudah berkecimpung dalam pendidikan dan pelatihan yang sudah bertahun-tahun eksis di masyarakat, menyakitkan melihat fakta bahwa mereka diabaikan,” ujar Fikri lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (2/5).
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 19.360 lembaga yang berbasis pendidikan masyarakat. Dengan rincian, 9.390 Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), 9.537 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), serta terdapat 433 Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
Selain itu, terdapat sekira enam ribu lembaga pelatihan dan keterampilan yang berada di bawah binaan Kementerian Ketenagakerjaan.
Dari data tersebut, kata Fikri, diperkirakan terdapat 250 ribu lebih pekerja yang menggantungkan hidupnya sebagai pengajar dan instruktur di lembaga-lembaga tersebut. “Padahal ada 19 ribuan Lembaga dikmas milik anak negeri ini yang kesulitan di masa pandemi,” ujar Fikri.
Alasan pemerintah yang hanya mengandeng delapan perusahaan platform digital dalam Kartu Prakerja dipertanyakanya. Sebab, perusahaan-persuahaan tersebut dinilai sudah mapan secara finansial.
Fikri menilai kebijakan yang telah diambil pemerintah tersebut diwarnai konflik kepentingan. "Aksi nepotisme oleh stafsus istana tidak bisa dilupakan begitu saja, meski oknumnya sudah mundur,” ujarnya.
Untuk itu, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) diminta untuk dilibatkan dalam Kartu Prakerja ini. Untuk mengawasi penyelenggaraan program tersebut.