REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nugroho Habibi, Sapto Andika Candra, Antara
Pendataan jaring pengaman sosial (JPS) untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 bertumpu pada RW. Pihak RW diminta untuk mendata warga di lingkungannya yang layak untuk menerima bantuan.
Namun, pendataan itu juga menimbulkan kekhawatiran bagi para ketua RW, salah satunya di Bogor, Jawa Barat. Mereka merasa takut jika muncul rasa iri dari warga yang mendapat dan yang tidak mendapatkan bantuan.
Andri Susanta, Ketua RW 15 yang menaungi Perum Mutiara Bogor Raya dan Perum Graha Pajajaran di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, tak mau ambil risiko. Ketimbang hanya mendapatkan jatah 50 orang yang harus dibagi ke 7 RT di RW 15, ia memilih untuk tak mengambil jatah bantuan tersebut.
"Awal itu, diminta kelurahan untuk mendata 50 warga yang membutuhkan. Dari pada nanti timbul persoalan, saya lebih memilih tidak mengumpulkan. Karena pendataan ini kan harus diminta KTP dan KK juga," tutur Andri, Senin (27/4).
Jatah yang harusnya diberikan di RW 15, ia putuskan untuk diberikan ke RW yang lebih membutuhkan. Pasalnya, di RW 15 masih area perumahan. Meskipun terdampak Covid-19, namun Andri menilai warganya masih belum membutuhkan bantuan tersebut.
Andri menceritakan, sempat ada warga yang menanyakan soal bantuan dari pemerintah. Beruntungnya, masyarakat secara keseluruhan menerima keputusan tersebut.
"Menang ada yang tanya, saya jelaskan bahwa ada yang lebih membutuhkan. Jatah itu tidak saya ambil. Mereka mengerti," jelas Andri.
Meski demikian, ia tak menapik adanya warga yang benar-benar membutuhkan pertolongan bantuan. Namun, dengan kesadaran yang tinggi, warga yang membutuhkan di lingkungannya mendapat bantuan dari komunitas sekitar.
"Kebetulan di sini ada komunitas budidaya lele. Nah, lelenya kita beli trus kita bagikan bersama-sama kepada masyarakat RW 15 yang membutuhkan," ucap dia.
Kekhawatiran juga dirasakan oleh para ketua RT dan RW di Kabupaten Bogor. Salah satunya di Kelurahan Sukahati.
Bahkan pengurus RT dan RW mendatangi Kantor Kelurahan untuk mendesak agar kelurahan bertanggungjawab telah meminta para RT dan RW untuk melakukan pendataan. Mereka khawatir mendapat caci-maki dan keluhan dari masyarakat yang tak mendapat bantuan.
Pasalnya, dari sekitar 600-700 KK yang didata, hanya 30-50 KK per RW yang mendapatkan bantuan.
Haris pengurus RW 04, Kelurahan Sukahati, menuturkan diminta untuk melakukan pendataan warga yang terdampak Covid-19. Namun, perintah dari kelurahan itu tak dibarengi dengan kejelasan standar penerima dan juga jumlah bantuan yang diberikan.
"Pendataan ini tidak jelas klasifikasinya. Kalau disuruh data yang terdampak tentu kita semua terdampak makanya banyak yang kita masukin," ucap Haris.
Namun, dia menuturkan, banyak masyarakat yang telah didata namun tak memperoleh bantuan. Bahkan, dia menuding, bantuan yang telah turun sebanyak 442 KK tak tepat sasaran.
"RT dan RW menolak karena setelah kami teliti banyak yang lebih membutuhkan tapi mereka nggak dapat sedangkan yang dapat malah yang mampu," jelas dia.
Lurah Sukahati, Haerudib, menyampaikan tetap memperjuangkan data yang telah dikumpulkan oleh para ketua RT dan RW. Haerudib menyatakan, telah menghadap ke Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bogor untuk memverifikasi data tersebut.
"Saya sudah sampaikan langsung datang ke Dinsos, tidak ada lurah yang sampai menemui Dinsos dan hasilnya itu dari Dinsos lagi di verifikasi," ucap Haerudib.
Haerudib menegaskan, bantuan yang telah diberikan sebanyak 442 kk tersebut berasal dari pemerintah pusat. Terlebih, dia menyatakan, pihak kelurahan memperoleh data dari para RT dan RW setempat.
"Maaf nggak ada kriterianya hanya yang punya KTP dan KK saja," jelas dia.
Haerudib menyatakan, pendataan yang diminta bebebrpa waktu lalu oleh Dinsos Kabupaten Bogor sangat mendadak. Sebab, pihak kelurahan dituntut untuk menyelesaikan pendataan tak lebih dari 12 jam.
"Saya menerima surat dari Dinsos Jam 18.00 WIB, instruksi dari Dinsos harus sudah di laporkan jam 21.00 WIB, kan kashian RT RW," ucap dia.
Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB University Sofyan Sjaf menjelaskan, kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) kurang tepat. Kebijakan itu, hanya menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat.
"Seyogyanya BLT dana desa diorientasikan untuk kebutuhan memproduksi pangan. Selain lebih produktif, ini untuk mengantisipasi krisis pangan yang tidak hanya melanda Indonesia tetapi dunia," ucap Sofyan.
Dia menjelaskan, pemernitah harus berpikir panjang untuk mengatasi dampak ekonomi persebaran Covid-19. Dia meminta, pemerintah dapat memberdayakan warga yang terdampak sebagai tenaga kerja untuk memproduksi pangan.
Mengenai pendataan, Sofyan berharap pemerintah dapat melibatkan banyak pihak wilayah. Selain mengantisipasi RW sebagai sasaran amukan masyarakat, data yang akan dikumpulkan ke pemerintah daerah lebih terverifikasi dari bawah.
"Pendataan itu harus melibatkan banyak pihak di level desa (relawan, pendamping, karang taruna, babinsa, dan lain-lain) agar data bisa memeriksa silang dan memiliki ketepatan. Demikian halnya ketika penyaluran bantuan. Keterlibatan banyak pihak dimaksudkan agar terwujudnya kepercayaan bersama," saran dia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat terdampak Covid-19 dilakukan by name by address, alias dengan nama berdasarkan alamat. Cara ini menuntut kerja keras pemerintah daerah sampai level desa dan RT-RW untuk mendata warga yang benar-benar membutuhkan bantuan tersebut.
"Dalam beberapa kesempatan Presiden meminta agar masyarakat yang menerima bantuan itu by name by address. Jadi dibutuhkan kerja keras dari pejabat daerah hingga kepala desa dan RT-RW untuk bisa mendata dengan cara yang tepat," jelas Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, pekan lalu.
Doni juga menambahkan bahwa dalam rapat terbatas hari ini, Wakil Presiden Maruf Amin juga sempat menitip pesan kepada tim di lapangan agar melakukan pengecekan berlapis untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Bantuan sosial berupa paket sembako senilai Rp 600 ribu sudah mulai disalurkan kepada 1,2 juta KK di DKI Jakarta.
Secara bertahap, bansos juga akan menyentuh 576 ribu KK di kawasan penyangga ibu kota, yakni Bodetabek. Anggaran yang dialokasikan sebanyak Rp 3,2 triliun.
Sementara untuk warga di luar Jabodetabek, pemerintah menganggarkan Rp 16,2 triliun untuk penyaluran bantuan sosial tunai bagi 9 juta KK penerima. Penerima bantuan ini adalah keluarga yang selama ini belum menerima bantuan sosial berupa program keluarga harapan (PKH) dan sembako murah dari pemerintah.
Menteri Sosial Juliari P Batubara meminta pengurus RT/RW membantu mengawal penyaluran bantuan sosial. Pengurus RT/RW pasalnya dianggap paling tahu warganya.
"Pengurus RT dan RW yang paling tahu bagaimana kondisi warganya. Oleh karena itu pelibatan RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah provinsi wajib dilakukan agar bantuan yang disalurkan benar-benar tepat sasaran," katanya.
Ia menekankan bahwa bantuan sosial harus disampaikan kepada warga yang terdampak wabah sesegera mungkin.