Senin 27 Apr 2020 16:28 WIB
Makanan halal

Qahal, Nasi Kucing, Nasi Anjing, Nuk: Beragama Penuh Ceria?

Umat Islam butuh konsumsi makanan halalan dan thayiban.

Bungkusan
Foto:

                          *****

Di Indonesia, kesejarahan nasi bungkus ternyata punya peran unik dalam kegiatan masyarakat, terutama politik. Dalam hajatan besar, seperti kampanye politik dan aksi demonstrasi, ada peran dari bungkusan nasi itu. Nasi bungkus pun punya bagian dalam sejarah reformasi 1998, terutama saat mahasiswa menduduki gedung DPR pada 18 Mei 1998. Kiriman nasi bungkus kala itu sangat banyak. Bahkan, saking berlimpahnya, tumpukkan nasi menyerupai gundukkan bukit. Letak gundukan itu berada di lapangan arah pintu ke luar kompleks parlemen dari arah belakang.

Bahkan, di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, dahulu semasa perang kemerdekaan ada kemasan nasi bungkus yang dikenal dengan sebutan 'nuk'. Santapan ini dibuat secara sukarela oleh rakyat dan kemudian dibagikan kepada para pejuang. Menunya sederhana, hanya nasi dan tempe serta gudangan (sayuran yang diurap mirip gado-gado/pecel). Kalaupun ada lauk ayam, itu pun dagingnya hanya siwiran (cuilan) saja.

Saat itu akses makanan memang begitu sulit. Sentra yang menjajakan makanan umumnya tutup akibat perang. Secara tak langsung, ada blokade makanan yang tujuannya ingin membuat gerilyawan keluar untuk mencari makanan.

Namun, di sinilah peran vital nasi bungkus. Sama dengan masa perang kemerdekaan hingga masa pendudukan gedung DPR pada masa reformasi itu, banyak rakyat dan sukarelawan tak henti menyuplai logistik nasi bungkus. Akibatnya, pada masa perang kemerdekaan para pejuang dahulu tidak kelaparan dan aman dalam perlindungan rayat, sedangkan pada masa pelengseran Soeharto, berkat nasi bungkus, mahasiswa tetap mendapat "amunisi tenaga" untuk terus beraksi.

Jadi, kalau sekarang ingin menyumbang makanan dan merasa risi dengan sebutan ‘nasi kucing’ karena porsinya terlalu kecil, tak usahlah pakai nama ‘nasi anjing’. Ini jelas akan sangat sensitif, bahkan bila sang penerima seorang Muslim, dia bisa merasa terhina seolah sosok insan tak berharga.

Lebih baik pakai saja istilah lagi ‘nasi nuk’ seperti pada masa perjuangan kemerdekaan dahulu. Bukankah kita semua hari-hari ini tengah berjuang melawan pandemi corona? Maka bijaklah memakai istilah.

Ingat, Islam mengajarkan bahwa makanan tidak saja harus halal dan menyehatkan, tetapi berikut sejak bahan pun hingga pengemasannya harus elegan atau baik. Dalam hal ini ada sebutan halalan thyaiban. Maka bijaklah dan berhati-hatilah!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement