TASIK, AYOBANDUNG.COM – Di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya terdapat sebuah komplek makam ulama yang kerap menjadi destinasi religi bagi warga sekitar khususnya selama ramadan.
Makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir Syekh Abdul Muhyi, seorang penyebar Islam di wilayah Tasikmalaya.
Diambil dari beberapa sumber, saat ia berusia 27 tahun, beserta teman sepondo dibawa oleh gurunya Syekh Abdul Rouf bin Abdul Jabar menunaikan ibadah haji. Saat di baitullah, gurunya itu mendapatkan ilham yang menyebut bahwa salah satu santrinya ada yang akan mendapatkan pangkat kewalian.
Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda, maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya itu pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.
Suatu saat sekitar waktu ashar di masjidil haram, tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syekh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya sebagai tanda-tanda tersebut.
Syekh Abdur Rauf pun membawa mereka pulang ke Kuala atau Aceh saat ini tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syekh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana.
Sebelum berangkat mencari gua, Syekh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Setelah menikah, ia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syekh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama tujuh tahun terhitung dari tahun 1678 hingga 1685 M.
Kabar tentang menetapnya Syekh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.
Menurut salah satu pemuda di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Imam Mudofar menuturkan, Syekh Abdul Muhyi berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya Syekh Abdul Rauf dengan mencoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Padahal menurut petunjuk dari gurunya itu, gua yang dicari akan ditemukan jika di suatu tempat ditanami padi hasilnya tetap sebenih. Artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada.
“Karena tidak menemukan gua yang dicari, Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.” Kata Imam, Sabtu (25/4/2020).
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk yang termasuk wilayah Kabupaten Garut saat ini. Di sini ia bermukim selama satu tahun antara tahun 1685-1686 M, untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.
Setahun kemudian ayahandanya Sembah Lebewarta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.
Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, ia melanjutkan perjalanan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama empat tahun yakni 1686-1690 M.
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, ia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
Pada suatu hari, Syekh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan.
“Padi yang ditanam segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa,“ papar Imam.
Sewaktu Syekh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicau burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.
Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syekh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syekh Abdul Muhyi.
Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod.
Sejak goa ditemukan Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tarekat.