Sabtu 25 Apr 2020 17:26 WIB

Kartini dan Solidaritas Hari ini

Perempuan abad 20 memiliki mimpi mengubah wajah kehidupan jadi lebih adil dan setara.

 RA Kartini
Foto:

Solidaritas Perempuan?

Mengapa solidaritas perempuan? Apakah ini dikotomi bahwa ada juga solidaritas laki-laki? Tentu tidak sesederhana itu. Karena pertanyaan perempuan adalah pertanyaan politik.

Sejarah pengetahuan telah membisukan pertanyaan itu karena sifatnya subversive; menuntut transformasi sosial. Dalam perjalanannya narasi tentang perempuan menghasilkan cara berpikir baru dalam melihat ketidakadilan dalam masyarakat.

Dalam Buku yang ditulis Sheila Rowbotham berjudul Dreamers of A New Day:

Women Who Invented the Twentieth Century, ia menyajikan narasi sejarah

alternatif yang menunjukkan dunia (juga) diubah oleh perempuan. Banyak kemajuan yang kita rasakan dan nikmati hingga saat ini merupakan mimpi dan hasil perjuangan para perempuan abad 20 yang disebut oleh Rowbotham sebagai ‘dreamers of a new day’. Bahwa perempuan-perempuan yang ‘menemukan’ abad 20 yang disebut Rowbotham sebagai ‘dreamers of a new day’ adalah perempuan yang memiliki mimpi untuk mengubah wajah kehidupan menjadi lebih adil dan setara.

Akan tetapi “paradigma alternatif” yang dihasilkan oleh produksi pengetahuan

perempuan, oleh perempuan, biasanya akan mengalami hambatan ganda; pertama, upaya itu akan dianggap sebagai “keluar jalur”. Kedua, ia akan dituduh menyeragamkan pengalaman yang berbeda di antara perempuan dalam sejarah dan ruang sosial-budaya yang berbeda.

Artinya, ketika perempuan hendak merumuskan persoalan “pengalaman” sebagai kategori pengetahuan, ia akan dipersoalkan sebagai “esensialis” (karena menjadikan “pengalaman ketubuhan” sebagai dasar pengetahuan) sekaligus “eurosentris” karena menggunakan perspektif barat dalam menganalisis relasi patriarki. (Rocky Gerung, Jurnal Perempuan, Vol.21, 2016; 81)

Kondisi ini terutama akan dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hari ini, terutama perempuan yang mengambil perannya di ruang-ruang publik. Studi tentang perempuan hari ini telah melahirkan perspektif baru dalam mengkritisi fenomena keadilan, hukum dan kebijakan publik.

Ruang-ruang perjuangan perempuan telah menelisik fungsi hukum dan kebijakan publik yang kedap sosial. Sisi lainnya adalah melihat esensi keadilan sebagai problem yang tidak hanya sekedar menyangkut distribusi kemakmuran.

Perempuan Indonesia hari ini

Pascareformasi yang membawa angin segar bagi gerakan politik perempuan, terbukanya ruang-ruang baru bagi perempuan untuk kembali berpartisipasi dalam politik. Namun perjuangan perempuan sampai dengan saat ini belum menemui titik terang.

Dalam tataran praxis, harapan-harapan perempuan Indonesia agar dapat berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan mengalami jalan-jalan terjal. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut; pertama, berhubungan dengan trauma terhadap sejarah politik Indonesia dan faktor kedua adalah bahwa perempuan selama ini kesulitan untuk keluar dari domestikasi tugas dan perannya dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Kenyataan tersebut adalah juga kegelisahan Hannah Arendt, ia kemudian mereduksi fakta-fakta sosial tersebut dalam sebuah teori politik yang ia ajukan. Menurutnya bahwa manusia secara fundamental adalah egaliter dalam pengertiannya bahwa semua manusia memiliki kemampuan untuk memulai dan untuk mengatur semua peristiwa yang terjadi dalam dirinya, sebagaimana diungkapkan: “initium ergo esset, creates est homo”.

Melalui kemampuan ini sesungguhnya perempuan Indonesia hari ini dapat terus bergerak dan mendefinisikan dirinya di ruang publik, karena manusia memiliki kemampuan memilih kondisi yang setara. Bahwa penindasan perempuan, eksploitasi dan tekanan sosial yang masih terjadi hingga hari ini, bukanlah ciri khusus dari suatu masyarakat atau negara-negara dunia ketiga saja.

Semuanya merupakan bagian integral dari sistem politik, ekonomi dan budaya yang berpengaruh besar di hampir seluruh dunia. Kita pun memahami bahwa hubungan hubungan antar sistem tersebut selalu dikonstruksi dalam konteks sebuah pergulatan politik mengenai nilai-nilai.

Akhirnya, perjuangan perempuan Indonesia tak hanya dipahami sebagai narasi yang tunggal. Perjuangan perempuan Indonesia hari ini seyogyanya diselesaikan dengan pemihakan pada kelompok lemah, rentan dan marjinal, sebuah politik keberpihakan dan solidaritas yang belum tuntas dieja Kartini di masanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement