REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Kabupaten Bogor, Syarifah Sofiah mengungkapkan dua petugas Lapas Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor dalam rapid test dinyatakan positif. Namun, hasil rapid test tersebut tidak berarti seseorang positif Covid-19.
"Satu sudah dilakukan swab test dan hasilnya belum keluar," katanya. "Sambil menunggu hasil laboratorium mereka sudah diisolasi 14 hari. Satu lagi atas inisiatif sendiri mau swab test di Jakarta," kata Syarifah, Kamis (23/4).
Bila hasilnya positif, maka Tim satgas akan tracing mereka yang kontak. "Termasuk napi yang pernah kontak akan kita periksa," katanya.
Hingga Rabu (22/4/2020) malam, Pemerintah Kabupaten Bogor mencatat ada 16 orang pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal sebelum dinyatakan positif ataupun negatif virus Corona (Covid-19). Selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), terjadi lonjakan kasus di wilayah itu.
Dalam sebuah paparan, Bupati Bogor, Ade Yasin telah mengumumkan ada 31 pasien baru terkonfirmasi positif COVID-19. Dengan demikian, hingga Rabu (22/4) malam, total kasus virus corona di Kabupaten Bogor mencapai 82 orang.
"Terkonfirmasi 31 orang tambahan kasus positif COVID-19. Hampir semua yang terkonfirmasi positif adalah mereka yang bekerja di Jakarta," ujar Ade Yasin.
Adapun 31 orang terkonfirmasi positif terdiri dari 20 orang berjenis kelamin laki-laki dan 11 orang perempuan. Mereka merupakan warga Kecamatam Bojonggede (4), Gunung Putri (9), Cileungsi (11), Gununug Sindur (2), Cibinong (4), Babakan Madang (1), Kemang (1).
Sedangkan Orang Dalam Pantauan (ODP) berjumlah 389 orang, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) 318 orang.
Sementara itu, Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengapresiasi Kementererian Hukum dan HAM yang telah membebaskan ribuan narapidana lewat asimilasi dan pembebasan bersyarat untuk menekan penyebaran virus corona baru (COVID-19).
Namun, warga binaan yang tidak menjadi bagian dari yang dibebaskan juga harus mendapat perhatian serius seperti mereka yang sudah berusia lanjut dan juga memiliki riwayat penyakit kronis. Karena itu, Presiden dan Menteri Hukum dan HAM perlu mempertimbangkan keselamatan mereka.
"Program melepaskan atau membebaskan para napi melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat dalam konteks mencegah penyebaran COVID-19 tidak ada masalah, memang seharusnya demikian. Apalagi LP di Indonesia ini punya problem over capacity," kata Abdul Fickar kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/4/2020).
Menurutnya, dalam asimilasi atau pembebasan bersyarat memang ukurannya bukan umur tetapi apakah seorang napi sudah menjalani separuhnya atau sudah menjalani 2/3 hukuman.
"Mengenai ditemukan napi yang sudah berusia 60 tahun ke atas dan memiliki riwayat penyakit kronis, itu tugas dan kewajiban negara untuk mengisolasinya sesuai dengan protokol penanganan COVID-19," ujarnya.
"Mereka bisa menjadi pengecualiaan meskipun belum menjalani hukuman separuhnya sekalipun," tambahnya.
Sementara itu, Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mendukung Pemerintah untuk melanjutkan program pembauran atau asimilasi terhadap narapidana. Program yang dilaksanakan di masa pandemi covid-19 ini efektif mengurangi daya tampung lembaga pemasyarakatan.
Pengurangan daya tampung di lapas mendesak dilakukan karena penyebaran covid-19 sudah merajalela, termasuk di wilayah Bogor. Pemerintah juga harus memikirkan keselamatan semua orang termasuk penghuni lapas.
"Karena permasalahannya, bila sudah kena satu orang, yang lain pasti terjangkit. Jadi, potensi penularannya tinggi sekali," tandasnya.