Rabu 22 Apr 2020 18:01 WIB

Pengusaha tidak Bisa Asal Memutuskan PHK

Kerugian terus menerus baru bisa menjadi dasar perusahaan melakukan PHK.

Untuk menghindari PHK banyak perusahaan yang beralihfungsi, misalnya mengerjakan masker wajah atau membuat APD. Pandemi corona hingga Rabu (22/4) telah menyebabkan 2 juta pekerja kehilangan pendapatannya.
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Untuk menghindari PHK banyak perusahaan yang beralihfungsi, misalnya mengerjakan masker wajah atau membuat APD. Pandemi corona hingga Rabu (22/4) telah menyebabkan 2 juta pekerja kehilangan pendapatannya.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Antara

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat dua juta pekerja terpaksa dirumahkan akibat pandemi corona. Sebagian bahkan terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Baca Juga

Secara total saat ini berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan sudah 2.084.593 pekerja yang terimbas PHK di sektor formal dan informal. Data tersebut diperoleh dari laporan 116.370 perusahaan.

Keputusan untuk menjatuhkan PHK ke karyawan sebenarnya tidak mudah. Pakar perburuhan dari Universitas Indonesia Prof Dr Aloysius Uwiyono SH MH mengatakan pengusaha tidak bisa asal melakukan PHK pada pekerja jika tidak mengalami kerugian berturut-turut.

"Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan mengalami kerugian terus-menerus. Kalau perusahaan tutup, dapat melakukan PHK dengan memberikan pesangon sesuai ketentuan. Namun jika perusahaan tidak mengalami kerugian terus-menerus, tidak bisa melakukan PHK," ujar Uwiyono dalam diskusi Kartini Day yang diselenggarakan ILUNI FHUI secara daring di Jakarta, Rabu (22/4).

Dia menambahkan perusahaan manufaktur yang mengalami kerugian terus-menerus, sudah banyak melakukan PHK dikarenakan pandemi Covid-19 di Tanah Air. "Titik tolaknya adalah merugi, kalau merugi terus-menerus baru dapat dibenarkan melakukan PHK," tambah dia.

Dasar hukum PHK adalah UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Uwiyono menambahkan baik pekerja dan pengusaha berada pada posisi, yang mana pengusaha dilarang melakukan pekerjaannya dan pekerja juga dilarang untuk melakukan pekerjaannya.

"Kalau merugi dapat dilakukan "force majeure" atau keadaan memaksa. Jadi titik tolaknya perusahaan merugi, tidak bisa melakukan pekerjaan, dan baru bisa dilakukan PHK dengan ketentuan memberikan pesangon sebanyak satu kali gaji," terang dia lagi.

Dia juga menambahkan saat ini hanya dua pilihan yakni PHK asalkan memenuhi persyaratan atau harus membayar upah pekerja. Mengenai upah, dia menyarankan agar perusahaan yang mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19, untuk memberikan upah dengan menganggap pekerja itu sakit.

Dalam pasal 93 UU 13/2013 dijelaskan upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit yakni untuk empat pertama dibayar 100 persen upahnya, empat bulan berikutnya dibayar 75 persen, empat bulan ketiga dibayar 50 persen, dan untuk bulan selanjutnya dibayar 25 persen sebelum melakukan PHK oleh pengusaha.

Pengusaha, lanjut dia, tidak bisa menerapkan unpaid leave atau cuti diluar tanggungan perusahaan karena hal itu merupakan kehendak pekerja bukan kehendak pengusaha.

Untuk Tunjangan Hari Raya (THR) dan kewajiban pengusaha kepada buruh adalah hak normatif buruh yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama, dan peraturan perundang-undangan. "THR merupakan hak pekerja sudah bekerja selama satu tahun. Jika masa kerja kurang dari satu tahun diberikan kepada pekerja secara proporsional," katanya.

Kewajiban pengusaha yang belum diberikan kepada buruh sebelum yang bersangkutan terkena PHK, merupakan piutang yang harus dibayarkan kepada pengusaha.

Hari ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( KSPSI) Andi Gani Nena Wea meminta Presiden agar membuat aturan terkait asuransi pesangon untuk melindungi hak-hak para buruh. Hal ini disampaikannya mengingat banyaknya gelombang PHK di masa pandemi corona saat ini.

Andi pun meminta agar para buruh baik yang mengalami PHK maupun yang masih bekerja tetap bisa mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. “Tadi kami sampaikan kepada Presiden untuk pemerintah membuat aturan asuransi pesangon. Jadi pengusaha juga mempunyai cadangan asuransi pesangon, kalau terjadi PHK, hak-hak buruh langsung dibayar dengan asuransi pesangon,” jelas Andi usai bertemu Jokowi, Rabu (22/4).

Menurut Andi, Presiden pun menanggapi baik permintaan konfederensi buruh tersebut terkait usulan aturan asuransi pesangon untuk para pekerja. Andi menyebut, aturan mengenai asuransi pesangon ini diperlukan sehingga hak-hak para pekerja dapat terlindungi jika perusahaan tutup.

“Presiden menyimak dengan sangat baik tadi permintaan 3 konfederasi buruh terbesar, harus ada aturan pemerintah soal asuransi pesangon untuk para pekerja Indonesia. Supaya tidak ada lagi perusahaan tutup dan yang jadi korban adalah karyawannya,” ujarnya.

Andi mengatakan, konfederasi buruh meminta Presiden agar mengambil langkah strategis terkait banyaknya PHK yang terjadi saat ini. Selain itu, ia juga menyoroti banyaknya perusahaan yang tak membayarkan THR kepada para pegawainya.

“Kami minta kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah strategis mengenai bagaimana menghadapi gelombang PHK,” kata Andi.

Ia menyebut, data pekerja yang telah mengalami PHK mencapai lebih dari 600 ribu orang. Sedangkan sebanyak 1,8 juta pekerja lainnya tercatat dirumahkan. Data ini, kata dia, berbeda jauh dari data yang dimiliki oleh pemerintah.

“Data kami sudah ter-PHK langsung itu ratusan ribu, mencapai 600 ribu lebih. Yang dirumahkan mencapai 1,8 juta orang,” ujar dia.

Untuk menahan laju PHK pemerintah memutuskan memperluas sektor usaha yang mendapat insentif perpajakan. Kebijakan ini dilakukan untuk membantu dunia usaha agar bisa bertahan di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan akan merevisi PMK nomor 23 tahun 2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona yang di dalamnya mengatur sektor mana saja yang mendapat bantuan fiskal. "Dalam aturan tersebut baru ada 19 subsektor manufakur (yang mendapat insentif). Akan segera direvisi, kita harap segera selesai pekan ini dari proses harmonisasi dan penyelesaiannya," jelas Sri Mulyani usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (22/4).

Menkeu menyampaikan, dalam revisi PMK nanti akan ditetapkan sebanyak 18 sektor usaha mencakup 749 KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha) yang akan mendapat insentif perpajakan. Total nilai insentif yang diguyur kepada 18 sektor usaha ini, ujar Sri, sebesar Rp 35,3 triliun. Insentif ini juga menyentuh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang pajaknya akan ditanggung pemerintah selama enam bulan.

"Sehingga mereka tidak membayar pajak yang 0,5 persen selama 6 bulan. Pajak ditanggung pemerintah, itu jadi tambahan stimulus UMKM. Ini akan diatur di peraturan yang baru," jelas Menkeu.

Sedikit berbeda dengan Menkeu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa insentif terkait PPh pasal 21, PPh pasal 22, dan PPh pasal 25 ini diperluas kepada 761 KBLI. Rinciannya, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencakup 100 KBLI. Kemudian sektor pertambahan dan penggalian untuk 27 KBLI, serta sektor industri pengolahan yang mencakup 127 KBLI.

Selanjutnya, sektor pengadaan listrik, gas, uap air panas, dan udara dingin sebanyak 3 KBLI, serta sektor pengelolaan air, limbah, dan daur ulang sampah untuk 1 KBLI. Kemudian ada sektor konstruksi yang mencakup 60 KBLI dan sektor perdagangan besarm eceran, dan reparasi kendaraan dengan 193 KBLI.

Berikutnya, sektor pengangkutan dan pergudangan dengan 85 KBLI, serta sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makanan minuman dengan 27 KBLI. Sektor informasi dan komunikasi yang mencakup 36 KBLI serta sektor ruangan dan asuransi dengan 3 KBLI juga mendapat perluasan insentif pajak.

Lalu ada sektor real estat dengan 3 KBLI dan sektor jasa profesional, ilmiah, dan teknis sebanyak 22 KBLI. Selain itu ada sektor aktivitas penyewaan gudang usaha, ketenagakerjaan, agen perjalanan wisata, dan penunjang usaha lainnya sebanyak 19 KBLI.

Perluasan insentif juga menyentuh sektor pendidikan dengan 5 KBLI, sektor kesehatan manusia dan aktivitas sosial dengan 5 KBLI, serta sektor industri pariwisata, kesenian, dan hiburan dengan 52 KBLI. Kemudian terakhir, ada sektor aktivitas jasa lainnya sebanyak 3 KBLI.

Melalui insentif itu, pemerintah menanggung 100 persen PPh Pasal 21 dari pegawai dengan penghasilan bruto tetap dan teratur yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 200 juta dalam setahun. Untuk mendapatkan insentif ini, pemberi kerja dapat menyampaikan pemberitahuan untuk pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. Insentif pemerintah diberikan selama enam bulan, yakni sejak masa pajak April hingga September 2020.

Insentif kedua, PPh Pasal 22 Impor yang dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak (WP) melakukan impor barang. WP yang dapat dibebaskan dari pungutan adalah usaha yang sesuai dengan kode klasifikasi dan telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE. Di antaranya, industri kulit buatan/ imitasi dan industri minuman ringan.

Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 harus diajukan oleh WP secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP Pusat terdaftar. Jangka waktu pembebasan berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan 30 September 2020.

Insentif berikutnya, pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30 persen dari angsuran yang seharusnya terutang. Usaha yang berhak mendapatkan fasilitas ini sama dengan KLU yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPh Pasal 22 Impor.

Relaksasi dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. "Jika WP memenuhi kriteria insentif tersebut, maka pengurangan besarnya angsuran akan berlaku sampai dengan Masa Pajak September 2020," seperti tertulis dalam Pasal 8.

photo
Perppu APBN Covid-19 - (Infografis Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement