Rabu 22 Apr 2020 09:20 WIB
Wabah

Wabah Yang Terjadi Pada Awal April Abad XX Di Cirebon

Seputar peristiwa wabah yang terjadi pada bulan April awal abad XX di Cirebon

Suasana Cirebon pada awal abad XX (antara tahun 1880-1900).
Foto: gahetna.nl
Suasana Cirebon pada awal abad XX

Wabah pes: sejak 1915 hingga berdirinya lembaga pemberantasan pes (pestbestrijding) April 1929
.

Kasus wabah pes yang terjadi di Cirebon sejak 1915, memicu pemerintah untuk mendirikan lembaga pemberantasan pes (pestbestrijding) itu dengan fungsi untuk menjadi pusat atau posko penanganan dan koordinasi kasus pes di daerah Cirebon bagian selatan dan barat. Lembaga ini didirikan pada April 1929 oleh pemerintah kota Cirebon bersama beberapa dokter pemerintah yang dipercayakan untuk memimpin pemberantasan penyakit pes.

Mereka di antaranya dr. C.J.Schuurman dan A.M. Schuurman-ten Bokkel Huinink. Kantor pusatnya di Kuningan namun daerah kerjanya meliputi Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Tasikmalaya.

Alasan mengambil tempat di Kuningan adalah karena penderita pes paling banyak di daerah ini. Sekalipun demikian sejak berdirinya, lembaga ini seperti tidak berfungsi. Para dokter dan tenaga kesehatan lainnya tidak dibekali alat kesehatan yang memadai dan tidak ada dana untuk pengobatan pasien. Pemerintah mengabaikan hal ini dengan alasan tidak mendapat subsidi dana dari pemerintah pusat.

Kasus ini, antara wabah dan kebijakan pemerintah, kemudian semakin menjadi pembicaraan di berbagai media massa saat itu. 
Kalau melihat laporan serah jabatan Residen C.J.A.T. Hiljee, 3 Juni 1930 dalam koleksi ANRI, dan dari catatan dr. C.J.Schuurman dan A.M. Schuurman-ten Bokkel Huinink dalam Mededeelingen van den Dienst der Volksgezonheid in Nederlandsch Indie (1930: 429), pemerintah kota Cirebon baru mengirimkan 9 orang tenaga medis berikut penyuluh penyakit pes untuk menyelidik wabah pes di Kuningan yaitu di bulan September 1929.

Padahal lembaga tersebut sudah berdiri sejak April 1929. Itu pun nampak terpaksa karena dalam koran Bataviaasch Nieuwsblad (31/31931) diulas bahwa tindakan pemerintah mendatangkan para penyuluh penyakit pes adalah sekedar untuk membuktikan kepeduliannya kepada masyarakat supaya tidak banyak dikritik berbagai media massa. Baginya, kritikan itu sebagai tindakan mepermalukan dan menurunkan reputasinya. Oleh karena itu ditutupinya dengan memberikan pekerjaan kepada para penyuluh pes yang pensiun.


Tindakan pemerintah semakin dipahami oleh beberapa media massa saat itu ketika para dokter dan penyuluh pes yang didatangkan adalah yang sudah purnabakti dan diambil dari Jawa Tengah, dengan alasan agar tidak banyak biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasanya. Mereka pun diberi waktu tugas penelitian hanya sampai 20 Juni 1930, tidak sampai 10 bulan.

Sebuah penelitian yang instan. 
Maka, wabah pes di Cirebon saat itu merupakan wabah yang paling lama melanda masyarakat dan paling luas persebarannya. Laporan Dinas Kesehatan Kota Cirebon nomor 52/1931 membahas kasus wabah pes yang menyebar ke Jalaksana (Kuningan) dan Talaga (Majalengka). Sepanjang tahun 1931, wabah pes mematikan puluhan orang.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad (2/1/1936) bahkan menyebutkan kalau wabah pes di Cirebon, Kuningan, dan Majalengka tidak pernah berakhir hingga tahun 1933. 
Namun yang diherankan berbagai media massa saat itu, adalah pemerintah yang tidak pernah memandang bahwa wabah pes sebagai epidemi yang mengancam masyarakat melainkan sebagai kasus biasa.Antara pemerintah kota dan residen pun tidak ada kata sepaham dalam menangani hal ini.

Pembahasan kasus wabah pes di tingkat pemerintahan selalu tarik menarik urusan minimnya alokasi dana kesehatan, bila tidak ada kucuran subsidi dana dari pemerintah pusat dan lembaga swasta perkebunan maka wabah pes menjadi hantu maut tersendiri bagi masyarakat. 
Apalagi saat yang bersamaan, para tikus tidak saja menjadi penyebab menyebarnya bakteri pes namun juga merusak tanaman padi dan tanaman palawaija.

Situasi ini menjadi masa gelap bagi masyarakat Cirebon. Tikus menjadi hantu maut dan hama tanaman karena kematian dan kelaparan muncul di berbagai daerah wabah. Dalam Indische Verslag (1931-1940), kasus kematian penduduk di tahun 1915-1933 itu tidak saja karena wabah pes namun beberapa wabah penyakit yang bersamaan muncul di masa itu, dan karena kelaparan yang hebat melanda masyarakat. Kelaparan mengakibatkan stamina menurun sehingga badan menjadi rentan terhadap penyakit.

April 1933


Dalam laporan Indische Verslag (1931-1940) itu disebutkan juga bahwa bulan April 1933 terdapat tingkat kematian pasien wabah pes yang tertinggi bila dibandingkan dengan tingkat kematian wabah penyakit lainnya sejak awal abad ke-20. Wabah pes merupakan wabah maut dan bulan April sebagai bulan kelabu bagi masyarakat Cirebon masa itu.

Seperti itulah kehidupan masyarakat Cirebon masa ‘penjajahan’ dimana kepentingan masyarakat tidak menjadi prioritas yang utama, sekalipun menurut M.C.Ricklefs bahwa secara ekonomi masyarakat banyak menyumbang pemerintah.

Wallahu’alam

--------------

*DR Imas Emalia, adalah dosen Sejarah Peradaban Islam pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis disertasi tentang Derajat Kesehatan Masyarakat di Kota Cirebon: Modernisasi Kota dan Kesehatan, 1906-1940. Alumini S3 Departemen Sejarah FIB UI, 2019.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement