REPUBLIKA.CO.ID, Tenaga medis perempuan memiliki peran ganda di tempat kerja, di rumah, maupun di lingkungannya. Hal itu dikatakan oleh dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Erlina Burhan dalam bincang-bincang yang di Graha BNPB yang disiarkan langsung akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Selasa (21/4).
"Selain bekerja di rumah sakit, perempuan tenaga kesehatan juga harus memastikan anggota keluarganya tetap semangat meskipun di rumah," kata Erlina.
Erlina mengatakan, tenaga kesehatan perempuan juga memiliki peran untuk mengedukasi masyarakat tentang pandemi Covid-19, termasuk berupaya menghilangkan stigma terhadap pasien Covid-19.
"Pasien Covid-19 harus didukung. Tenaga kesehatan juga harus didukung," ujarnya.
Pada masa pembatasan sosial berskala besar, ketika anak dan suami juga harus belajar dan bekerja di rumah, tenaga kesehatan perempuan meskipun harus bekerja di rumah sakit juga tetap harus memastikan keluarganya mendapatkan makanan yang bergizi. Mereka juga tetap harus memastikan anak-anaknya yang belajar di rumah tetap mendapatkan pendampingan.
"Saya tidak punya banyak waktu di rumah karena tetap harus bekerja di rumah sakit, kalau di rumah saya tanya anak saya tentang belajarnya," tuturnya.
Erlina mengatakan, ibu yang tetap bisa berada di rumah harus bisa memberikan suasana nyaman di rumah serta memberikan edukasi tentang cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak.
Namun, tidak semua tenaga kesehatan yang bisa tetap di rumah selama pandemi. Salah satu cerita diungkapkan seorang perawat Cici Sri Oktaviani (39) yang bertugas di RSUD Bahteramas Kendari, Sulawesi Tenggara. Demi menjalankan tugasnya selapa pandemi Covid-19, Cici menitipkan dua buah hatinya.
"Sudah dua pekan berpisah dengan suami dan kedua anak saya yang masih balita demi tugas. Berat berpisah berhari-hari dengan keluarga tetapi mau apa lagi," kata Cici di Kendari, Selasa.
Cici bersama 30 orang rekannya difasilitasi tempat menginap di ruang VIPRSUD Bahteramas selama menjalankan tugas perawatan pasien terpapar virus Corona. Para perawat tidak boleh pulang (sementara) ke rumah meski usai menjalankan tugas secara bergantian dengan perawat lainnya karena mereka dikuatirkan membawa virus ke rumah yang berisiko bagi keluarga, anak dan suami.
"Sebenarnya, berat rasanya berpisah dengan si bungsu saya usia 1,4 bulan berminggu-minggu tetapi apa boleh buat tugas seorang perawat," kata Cici dengan nada terbata-bata.
Cici, alumni Akademi Perawat Unaaha, Kabupaten Konawe pada 2002 menitipkan dua orang buah hatinya, Sultan Muhammad Alfat (3) dan Embun Adrina Betari kepada neneknya di kampung, tepatnya di Unaaha sekitar 100 kilometer dari Kota Kendari. Sedangkan, sang suami Eddy Wicaksono Martha mandiri mengurus makan, mencuci pakaian dan membersihkan rumah sejak istri bertugas di ruang isolasi Covid-19.
"Saya melepas rindu dengan anak-anak melalui telepon video call. Tetapi kemarin anak saya yang bungsu sudah menolak berbicara. Dia sudah tidak kenal saya mungkin," kata Cici sembari terisak menangis.
"Ya, mau apa lagi pak. Istri menjalankan tugas sebagai perawat. Sumpah perawat untuk menyelamatkan jiwa manusia dipegang teguh," tutur Eddy Wicaksono Martha, suami Cici.
Sang suami menerima kebijakan para perawat Covid-19 untuk disiapkan pemondokan agar anak-anak dan keluarga aman dari virus. Cici mengharapkan warga masyarakat, tetangga tidak mengucilkan kami (perawat) kelak usai menjalankan tugas yang berisiko ini.
"Kami juga minta kepada warga Kota Kendari dan Sultra agar tidak beraktivitas diluar rumah. Ingat kami, tenaga kami terbatas, anak, suami dan keluarga menunggu kembali ke rumah," ujarnya.
Di Tebing Tinggi, ada dokter Henny Sri Hartati (52 tahun) yang sehari-hari bertugas di Dinas Kesehatan Tebing Tinggi sebagai Kepala Bidang Penanggulangan, Pencegahan Penyakit (P2P). Sebagai seorang kepala bidang biasanya lebih banyak mengurus masalah administrasi, Henny kini sering turun ke lapangan selama pandemi.
"Saya dokter di bidang kesehatan, itu ilmu yang saya miliki, bisa dimanfaatkan selama Covid-19 ini," katanya.
Ia mengakui, selama Covid-19 mewabah, tidak ada istilah hari libur. Sabtu dan Ahad ia tetap berkantor melayani berbagai permintaan bantuan kelengkapan berbagai instansi maupun masyarakat umum guna pencegahan Covid-19.
Ia juga mengaku pernah diprotes putri semata wayangnya karena terlalu aktif diluar, sehingga terkesan mengabaikan keluarga.
"Kapankah mama bisa peluk awak lagi, pergi kerjanya pagi, pulangnya tiap hari malam. Kapan kita kumpul bareng lagi," katanya menirukan ucapan putrinya.
"Sedih juga mendengarnya. Tapi ini adalah suatu pengabdian tidak sekadar untuk bangsa dan negara tetapi yang hakiki adalah untuk kemanusiaan," sebutnya.
Para dokter dan perawat yang ditugaskan menangani pasien virus corona yang mematikan, pantas menyandang sebutan pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan kesetaraan kaum wanita menuntut ilmu pendidikan dan kesempatan bekerja. Sudah semestinya peringatan Hari Kartini pada 21 April 2020 kali ini kita persembahkan untuk mereka yang berjuang di garis depan memerangi Covid-19.