Ahad 19 Apr 2020 13:12 WIB
Kartini

Menyelami Pemikiran Kartini (Bag, I)

Pemikiran Kartini

RA. Kartini bersama anak-anak didiknya, foto diambil dari buku
Foto:

Keluarga besar Kartini, Condronegoro merupakan salah satu dari tujuh keluarga bangsawan yang berpengaruh di Pasisir. Sejak abad ke-19, keluarga Condronegoro ditunjuk oleh pihak Belanda untuk memegang jabatan utama dalam tatanan administratif daerah. Kakek, paman, kakak, hingga suami Kartini hampir seluruh anggota keluarga besar (laki-laki-pen) Kartini mampu berbahasa Belanda dan memperoleh pendidikan dari Barat yang terbilang mewah jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi lainnya.

Dengan latar belakang itu, ditambah dengan perkenalannya dengan sastra feminis Barat, menjadikan Kartini semakin gigih dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi perempuan.

Pada tahun 1900 Kartini mulai menjajaki diskusi dan negosiasi dengan cukup banyak pejabat kolonial, diantaranya J.H. Abendanon, Henri van Kol, dan Walikota Semarang pada saat itu, Piet Sijthoff.

Sijthoff adalah orang yang bertugas mengurus akses pendidikan bahasa Belanda untuk pria Jawa terpilih. Dia juga anggota Genootschap Bataviaasch, organisasi yang bertugas untuk menerbitkan laporan tentang kegiatan eksplorasi Hindia (Indonesia-pen). Sebagai otoritas kolonial regional resmi, Sijthoff diharuskan memberikan nota pendukung yang diperlukan untuk menyertai aplikasi pengajuan studi ke Belanda.

Perjalanan panjang aplikasi Kartini dan saudaranya berujung pada memorandum yang dikeluarkan oleh Sijthoff. Pada dasarnya, Sijthoff sepakat dengan Kartini. Dia setuju bahwa pendidikan secara umum akan berkembang apabila pendidikan perempuannya telah baik.  

  • “...Memang benar, pendidikan suatu bangsa harus melibatkan perempuan terdidik sebagai akar pendidik awal agar pendidikan yang diterima anak sejak kecil terjamin kualitasnya, namun saya tidak menyarankanmu (Kartini-pen) untuk pergi ke Belanda, di sana akan banyak hal yang mengejutkan, dari segi budaya, dll, saya khawatir kamu akan kehilangan arah dan kedamaian seperti yang dirasakan di Indonesia...”

Akhirnya, di tahun 1903, keputusan akhir menyebutkan bahwa Kartini tidak dapat melanjutkan studi ke Belanda, melainkan mengikuti pelatihan guru di Batavia. Namun, belum sempat berangkat mengikuti pelatihan, Kartini lebih dulu menerima lamaran dari R.A. Djojodiningrat, seorang Bupati Rembang beranak enam. Alih-alih berangkat ke Batavia, Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang.

Salah satu alasan Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan adalah kasus kebijakan candu pemerintah Hindia Belanda yang memonopoli perdagangan opium. Kemarau dan gagal panen yang memiskinkan rakyat Jawa makin menambah penderitaan karena mereka kecanduan opium.

Dalam korespondensinya dengan Stella, ia mengatakan “Bagi yang punya uang tak jadi masalah, bagi yang tidak, mereka akan mencuri, merampok, dan membunuh” Dua tahun kemudian, soal candu ini kemudian diulas kembali ketika bersurat dengan Tn. Abendanon, ia yang ketika itu sudah menjadi istri R.A Djojodiningrat, menceritakan niat suaminya yang menolak monopoli opium dan menawarkan diri membuat kebijakan lokal di Rembang untuk mengatasi orang kecanduan.

Lain dari suaminya, Kartini punya cara sendiri, ia menyerukan pendidikan, agar orang tak terjerumus pada candu dan kemiskinan. Lebih spesifik, ia menyerukan pendidikan kepada kaum perempuan. Menurut Kartini, ekonomi masyarakat sangat bergantung pada bagaimana perempuan mengatur keuangan dalam rumah tangga.

Dalam mendirikan sekolahnya, Kartini bersama kedua adiknya, mengadopsi cara pengajaran Belanda. Contoh metode yang dicuplik Kartini untuk pembelajaran di sekolahnya adalah metode Froebelian. Froebelian adalah metode pembelajaran yang ditemukan dan dikembangkan oleh Friedrich Froebel.

Froebel menyimpulkan bahwa bermain bukanlah sekadar perilaku iseng, melainkan suatu keharusan biologis untuk menemukan cara-cara kerja. Aktivitas yang menyenangkan akan menuntun anak menciptakan makna dari pengalaman mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement