REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, Ronggo Astungkoro
“Jadi kitorang sudah tidak bisa keluar-keluar lagi. Penerbangan sudah ditutup dari Timika dari akhir Maret lalu,” tutur Siti Khuz, seorang warga Timika, Kabupaten Mimika, Papua saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/4). Ia menuturkan, sebagai langkah pencegahan penyebaran Covid-19 oleh pemerintah setempat, mereka-mereka yang tinggal di berbagai kabupaten di Papua telah dikunci pergerakannya.
Tiket-tiket pesawat yang sudah telanjur dibeli untuk keluar dari wilayah itu, seluruhnya dikembalikan. Saat ini, hanya satu pesawat terkadang tiba membawa logistik beserta warga dengan KTP Mimika dari luar daerah. Jalan-jalan darat lintaskabupaten juga dipalang agar tak ada perlintasan antarkabupaten.
Toko-toko dan pasar hanya dizinkan buka mulai pukul 06.00 WIT hingga pukul 14.00 WIT. Belakangan, jalan-jalan dalam kota juga mulai dipalang sementara patroli aparat keamanan terus berjalan. “Untung saya hanya tiga menit jalan ke kantor. Masih bisa keluar,” kata Siti.
Hingga Jumat (17/4) sebanyak 22 orang dinyatakan positif Covid-19. Dari jumlah itu, tiga di antaranya meninggal dunia. “Sa (saya) takut ini tambah terus karena rumah sakit di sini macam begitu, toh,” Siti menuturkan.
Tapi di Timika, dan utamanya kabupaten-kabupaten lain di Pegunungan Tengah Papua, bukan pandemi saja yang membuat suasana tak tenang.Terkadang suasana bertambah mencekam dengan broadcast aparat keamanan memeringatkan soal potensi konflik bersenjata. “Biasanya kita di-WA. Dikasih tahu saat kondisi Siaga 1,” kata dia.
Siti Khuz yang aslinya orang Jawa Timur sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Papua. Tapi suasana belakangan, kata dia, memang agak lain di wilayah pegunungan Papua.
“Kemarin ada saya dengar bunyi tembakan tapi malam hari jadi saya tidak tahu juga siapa yang kasih bunyi senapan,” kata Pardjono, seorang warga Wamena. Sebelumnya, pada akhir Maret lalu, ia menuturkan melihat seonggok jenazah yang terkapar meninggal di pinggir jalan tanpa mengetahui siapa pelaku pembunuhan.
Meski keadaan keamanan belakangan mencekam, ia tak bisa keluar daerah. Seperti di Mimika, tak ada juga penerbangan keluar dari Wamena. Sejauh ini ada tiga pasien positif Covid-19 di Wamena.
Sebelum pasien pertama positif Covid-19 diumumkan di Papua, sudah ada peningkatan konflik antara kelompok kriminal bersenjata yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dan aparat gabungan TNI-Polri.
Kelompok kriminal yang menamai diri mereka Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengancam meningkatkan serangan ke wilayah PT Freeport di Tembagapura sejak awal Maret. Sejak itu pula sekitar 5.000 pasukan TNI-Polri diterjunkan ke wilayah tersebut. Sedikitnya 1.600 warga kampung-kampung di Mimika mengungsi, khawatir jadi korban salah sasaran saat konflik meledak.
Kematian
Pada 3 April lalu, saat korban meninggal pertama akibat Covid-19 di Mimika dimakamkan, berbarengan terjadi juga kontak senjata antara Satgas Amole Brimob Iwaka dengan KKB di Tembagapura.
Sejauh ini, korban kematian akibat konflik sejak awal tahun tersebut juga terus bermunculan. Sementara saling serang muncul sporadis.
Pada 28 Maret, terjadi penembakan di Kampung Zipabera, Distrik yang mengakibatkan seorang polisi, Bharada Doni Priyanto meninggal dunia. Menyusul penembakan terhadap mobil LWB Patroli Polsek Tembagapura di Kampung Utikini, Distrik Tembagapura, pada Senin (2/3).
Tak lama, terjadi penyerangan di Kantor PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana Tembagapura yang menewaskan seorang pekerja WN Selandia Baru dan seorang anggota kelompok bersenjata pada 30 Maret lalu. Belakangan TPNPB melansir, mereka juga telah menembak mati dua personel Brimob beberapa hari lalu.
Di lain pihak, Polda Papua juga mengungkapkan, tujuh anggota kelompok kriminal bersenjata tewas dalam penindakan Satgas TNI-Polri sejak bulan Maret hingga April. Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw mengatakan, seluruhnya meninggal dari operasi di tiga wilayah di Kabupaten Mimika.
Bukan hanya aparat dan anggota kelompok separatis saja yang jadi korban meninggal. Pada Senin(13/4) lalu, nyawa dua pemuda asli Papua hilang setelah mendapatkan terjangan timah panas dari senjata api aparat TNI. Ronny Wandik (21 tahun) dan Eden Bebari (20 tahun), nama korban tersebut, ditembak ketika tengah mencari ikan di Mile 34, Distrik Kwamki Narama, Timika.
"Mereka dua mencari ikan di kali hingga jam 14.00 siang. Kemudian aparat militer Indonesia mendatangi mereka dua," ujar Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal, menerangkan kronologis singkat yang didapat dari keluarga korban kepada Republika.co.id, Rabu (15/4).
Setelah itu, kata Odizeus, tanpa bertanya atau melakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada Ronny dan Eden, aparat langsung melepaskan tembakan ke arah keduanya. Timah panas yang ditembakkan ke kedua pemuda itu mengakibatkan mereka meninggal dunia.
Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab, menyatakan, pihaknya akan melaksanakan investigasi. "Kita ada juga petugas yang ditunjuk melaksanakan investigasi sehingga bisa kita mengetahui dan ada proses-proses hukum yang berjalan," ujar Herman di RSUD Mimika, Selasa (14/4).
Pihak TPNPB-OPM sebelumnya telah meminta gencatan senjata sehubungan merebaknya pandemi di Papua. “Kami harap Indonesia mematuhi seruan Sekjen PBB Antonio Guterrez untuk ‘gencatan senjata global di seluruh penjuru dunia’,” ujar Penangung Jawab Politik TPNPB-OPM Bomanak Jeffrey dalm keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id.
Ia juga menjanjikan, ada sejumlah prosedur yang akan dilakukan pihaknya terkait merebaknya Covid-19 di Papua. Di antaranya, TPNPB tak akan menyerang fasilitas kesehatan serta menjamin kebebasan pergerakan peralatan dan tenaga medis. “TPNPB-OPM juga akan membantu menegakkan karantina wilayah serta upaya pencegahan lain dari pemerintah daerah Papua,” tulisnya.
Menurutnya, Covid-19 saat ini jadi ancaman mengerikan bagi warga Papua karena terbatasnya fasilitas kesehatan di wilayah itu. “Bencana kemanusiaan ini mengkhawatirkan mengingat pengabaian kualitas layanan kesehatan oleh pemerintah Indonesia di Papua selama bertahun-tahun,” kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa jika permintaan gencatan senjata dan ditariknya pasukan nonorganik dari pegunungan Papua tak dipenuhi, saling serang akan menimbulkan jumlah pengungsi yang sangat banyak dan meningkatkan potensi penularan.
Namun, permintan gencatan senjata itu bukan tanpa syarat. Ia juga meminta penarikan aparat keamanan, utamanay TNI dari wilayah pengunungan Papua. Ini yang jadi persoalan karena di pihak kepolisian, alasan keberadaan aparat gabungan justru adanya operasi TPNPB-OPM tersebut. "Kami harus menempatkan satuan-satuan tugas untuk menjaga masyarakat, melindungi masyarakat, termasuk juga ada proyek objek-objek vital," kata Irjen Pol Paulus Waterpauw, menjelaskan alasan penempatan satuan tugas di wilayah Papua.
Dia juga mengatakan, aparat keamanan terkadang merasa sulit membedakan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka karena situasi yang begitu terbuka. Komentar itu tak menutup kemungkinan munculnya collateral damage alias korban sampingan dari serangan kelompok kriminal bersenjata maupun penindakan aparat.
Pada akhirnya warga di wilayah Pegunungan Tengah Papua, baik yang dari kalangan pendatang maupun penduduk lokal saat ini terjebak di antara dua kerawanan. Pandemi di satu sisi, dan konflik bersenjata di sisi lainnya. Keduanya, sama-sama mematikan. n