REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika
Komisi II DPR RI menyepakati penundaan Pilkada 2020 bergeser hingga 9 Desember di tahun yang sama. Waktu tersebut berubah dari jadwal semula pemungutan suara pada 23 September 2020, karena pandemi virus corona yang meluas di Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, namun mengkhawatirkan partisipasi pemilih akan menurun ketika pemungutan suara Pilkada 2020 digelar 9 Desember 2020. JPPR merekomendasikan, setelah tahapan pemilihan ditunda akibat virus corona, pemungutan suara Pilkada 2020 ditunda hingga 2021.
"Karena pada pilkada 2020 yang diselenggarakan di 270 daerah terancam berjalan dengan kondisi rendahnya partisipasi masyarakat pemilih serta hilangnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia," ujar Alwan pada Rabu (15/4).
Dalam kondisi seperti ini negara harus hadir. Kehadiran negara harus lebih cepat dari pergerakan Covid-19. Negara disebutnya mempunyai kekuasaan dalam melindungi hak milik dan menciptakan keamanan publik. "Demokrasi prosedural sebagai suatu proses dalam memilih pemimpin politik, kini dalam tantangan berat," kata Alwan.
Ia menuturkan, Pilkada 2020 tentu melibatkan banyak pihak. Tercatat jumlah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) pemilihan serentak tahun ini sebanyak 105.396.460 pemilih.
Apabila melihat data pada Pilkada 2015, terdapat 838 pasangan calon dan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 237.790 TPS. Sedangkan penyelenggara ad hoc diantaranya Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) berjumlah 10.337 orang, Panitia Pemungutan Suara (PPS) total 131.886 orang, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mencapai 1.664.530 orang.
Menurut Alwan, penyelenggaraan pemilihan serentak di 270 daerah pada 9 Desember tahun ini, sangat berisiko. Sebab, sampat saat ini pun, belum dipastikan kapan berakhirnya wabah virus corona.
"Dalam kondisi pandemi seperti ini, sangat riskan karena Pilkada 2020 melibatkan banyak pihak, selain itu mulainya tahapan juga belum menemukan kejelasan dan kepastian," tutur Alwan.
Ia menilai, perlu adanya kesepakatan bersama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pemerintah untuk membuat road map Pilkada 2020. Apakah melanjutkan tahapan atau memulai tahapan baru dan kapan tahapan akan dimulai.
Road map tersebut kemudian harus dijelaskan kepada publik. Sebab, aspek pendidikan pemilih juga menjadi penting untuk terus di bangun dalam upaya membangun partisipasi masyarakat pemilih di tengah wabah covid-19.
Kemudian, lanjut Alwan, penyelenggara pemilu dan pemerintah juga perlu melakukan kerja sama dengan civil society atau dalam hal ini lembaga pemantau pemilu. Menurut dia, civil society yang aktif akan memangun solidaritas sosial yang kolektif.
Di sisi lain, Alwan berpendapat, pilihan opsi 9 Desember 2020 pun belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan kasus Covid-19 hingga akhir Mei 2020. Artinya, jika bencana nasional Covid-19 belum teratasi, akan ada opsi tahun 2021.
"Sehingga kesepakatan kemarin itu semacam kesepakatan ragu-ragu. Maka kami merekomendasikan, sebaiknya pilkada dilanjut 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani Covid-19," lanjut Alwan.
Setelah DPR menyetujui penundaan pemungutan suara pilkada di bulan Desember, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI segera menyusun skenario penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19.
"Jadi kita perlu bergeser cara pandangnya karena suasana ini dimungkinkan kan sangat tergantung, kembali lagi-lagi wabah ini cepat berakhir pada kondisi yang dimungkinkan tidak lagi sama. Jadi suasana sosial dimungkinkan tidak lagi sama seperti sebelum ada Covid-19," ujar Komisioner KPU RI Viryan Aziz saat dihubungi, Rabu (15/4).
Ia menekankan, KPU menyampaikan tiga opsi waktu pemungutan suara yakni 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021 dengan asumsi wabah virus corona sudah berakhir pada akhir Mei. Hal itu sesuai penetapan masa darurat bencana Covid-19 hingga 29 Mei 2020 oleh pemerintah pusat.
KPU berharap, opsi mana pun yang dipilih, pemerintah harus memastikan status darurat Covid-19 sudah berakhir, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berakhir, serta aktivitas masyarakat tidak dibatasi physical distancing. Diiringi dengan kurva kasus terpapar virus corona makin melandai.
"Maka mau tak mau, selain soal waktu, atau pemungutan suara digeser ke kapan, itu kewenangan pemerintah. Yang kedua, dimungkinkan pilkada ini diselenggarakan tidak dalam kondisi wabah Covid berakhir 100 persen," kata Viryan.
Artinya, kata dia, masih ada imbauan masyarakat menggunakan masker maupun menjaga jarak fisik sebagai protokol pencegahan penyebaran virus corona. Sehingga ketika Pilkada 2020 tetap dijalankan, tetapi penyelenggaraan juga menjamin phsyical distancing.
Viryan mencontohkan, KPU akan mengatur agar kegiatan bimbingan teknis maupun agenda yang bersifat massal dilakukan secara daring. Selain itu, untuk menghindari antrean atau menjamin jaga jarak fisik untuk mencegah penularan saat pemungutan suara, dilakukan pengurangan jumlah pemilih di setiap tempat pemungutan suara (TPS).
Dengan demikian, terjadi penambahan TPS dari pemilu sebelumnya di masing-masing wilayah. Kemudian, pengadaan hand sanitizer atau cairan pencuci tangan serta thermometer gun atau alat pengukur suhu tubuh di setiap TPS.
KPU juga perlu mempertimbangkan masih adanya warga yang mempunyai hak memilih tetapi masih dalam perawatan di rumah sakit karena Covid-19. KPU perlu menjamin mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya.
Di sisi lain, kata Viryan, ketika ada perubahan teknis penyelenggaraan tersebut, maka ada anggaran yang mungkin bertambah atau berkurang. Anggaran berkurang ketika bimtek dilakukan secara daring, tetapi anggaran bertambah ketika pengadaan hand sanitizer di TPS selain tinta dan lain-lain.
"Contoh yang paling sederhana, potensi anggaran bertambah karena yang sudah pasti, hand sanitizer dengan termometer tembak sepertinya menjadi kebutuhan untuk diadakan di setiap TPS," tutur Viryan.
Selain yang telah disebutkan di atas, Ketua KPU RI, Arief Budiman mengusulkan dalam rapat dengar pendapat pada Selasa (14/4), menggunakan metode pos dan kotak suara keliling untuk menghindari kerumunan orang. Metode ini dipakai dalam memenuhi hak suara warga negara Indonesia yang tengah berada di luar negeri.
"Kegiatan dapat dilaksanakan dengan tetap mengunakan standar protokol Covid-19 termasuk kebijakan menjaga jarak dalam antrean di TPS," kata Arief.
Namun, Viryan menambahkan, KPU berharap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada segera terbit. Sehingga ada kepastian hukum bagi penyelenggara pemilu untuk bekerja melaksanakan pemilihan lanjutan.
"Kalau diminta, KPU pasti memberikan masukan, tapi itu kan kewenangan ada di pemerintah, kalau Perppu ya. Maka pengaturan Perppu minimalis, atau pengaturan Perppu maksimalis, itu ada lagi istilah," tutur Viryan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam rapat penetapan pengunduran pilkada di DPR beberapa hari lalu mengatakan, pihaknya berada dalam opsi optimisme melakukan Pilkada 2020 pada tahun yang sama. Akan tetapi, kata dia, tidak ada satu negara pun yang dilanda virus corona, termasuk Indonesia, isa memastikan kapan vaksin ditemukan dan pandemi global ini berakhir.
"Kita tetap pada opsi optimis dilaksanakan pada akhir tahun 2020. Artinya, sesuai usulan dari KPU, Desember 2020," kata Tito.
Namun, lanjut dia, dalam Perppu Pilkada nantinya ada kelonggaran waktu pelaksanaan pemungutan suara. Sehingga, jika Desember 2020 tidak memungkinkan, maka opsi lainnya yakni pemungutan suara Pilkada 2020 dapat dilaksanakan selambat-lambatnya September 2021.
"Namun, dalam Perppu itu disebutkan dalam hal Desember 2020 tidak bisa dilaksanakan, selambat-lambatnya dilaksanakan tahun 2021," tutur Tito.