REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala meminta publik tidak memandang sinis kebijakan pemerintah yang membebaskan 30 ribu narapidana. Menurutnya, kebijakan itu dapat mengurangi potensi penyebaran virus Covid-19 di dalam lamebaga pemasyarakatan (lapas).
Adrianus mengatakan, fasilitas kesehatan (faskes) dalam lapas sudah tentu tidak akan bisa menangani pasien Covid-19 alias Corona. Kapasitas tempat tidur pasien yang dimiliki faskes di lapas juga tidak akan sanggup menampung pasien yang terpapar nantinya.
"Makanya ada pertimbangan untuk mengeluarkan mereka yang memang sudah berhak untuk menerima asimiliasi," kata Adrianus Meliala kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (13/4).
Meski demikian, dia tidak menampik bahwa ada beberapa dari puluhan ribu narapidana yang dibebaskan itu kembali melakukan tindak kriminal setelah dibebaskan. Dia menduga hal itu dikarenakan proses pengecekan latar belakang pemberian asimilasi itu dipercepat.
Dia mengatakan, dalam kondisi normal narapidana yang mendapat asimilasi akan menjalani sidang hingga dicek terlebih dahulu akan kelakuan baik mereka selama mendekam dalam tahanan. Dia melanjutkan, percepatan itu pada akhirnya membuat beberapa kualifikasi guna mendapatkan asimilasi terlewatkan dan membuat mereka diputuskan keluar penjara.
"Saya meduga karena tidak ada filter maka kemudian mereka-mereka yang tidak menunjukan good behavior itulah yang berbuat aneh-aneh di luar," katanya.
Anggota Ombudsman RI ini mengaku mengamati bahwa sekitar lima hingga enam orang saja yang telah dibebaskan dan kemudian mengulangi tindak kriminal mereka. Dia lantas meminta publik tidak memandang negatif kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena perbuatan segelintir orang. "Jadi jangan karena segelintir lalu langkah kemanusiaan ini menjadi jelek citranya, mereka kan juga manusia," katanya.
Dia mengatakan, para narapidana setelah keluar dari lapas juga sudah bukan menjadi tanggungan pemerintah. Namun, dia mengungkapkan, mereka masih mendapatkan pengawasan dari balai pemasyarakatan (bapas) atau istilahnya probation service.
Dia mengungkapkan, mengingat jumlah narapidana yang dilepas teralalu banyak maka kemkumhan telah meminta bantuan kejaksaan dan kepolisian untuk mengawasi mereka. Dia berpendapat bahwa kembali tertangkapnya narapidana usai dibebaskan merupakan bukti bahwa ketiga lembaga itu bekerja.
Meski demikian, menurutnya, pemerintah telah memberikan sejumlah stimulus sosial kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu, sambung dia, dilakukan tanpa melihat latar belakang warga baik bekas narapidana atau tidak namun mengacu pada pendataan penduduk alias KTP.