REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Hasil tes swab PCR (polymerase chain reaction) pasien dalam pengawasan (PDP) yang dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dianggap terlalu lama. Akibatnya, ruang isolasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi, Solo, selalu penuh.
Bahkan, ada PDP yang sudah meninggal dan dimakamkan, tetapi hasil tes swab PCR-nya belum diketahui. Dewan Pengawas RSUD Dr Moewardi, Reviono, mengatakan, total PDP yang dirawat di RSUD Dr Moewardi sebanyak 14 orang. Selain itu, ada satu pasien terkonfirmasi positif corona yang merupakan pasien rujukan dari Pati.
Menurut dia, setiap hari selalu ada rujukan PDP baru. Apabila hasil swab PCR-nya negatif, pasien dinyatakan sudah tidak PDP dan digeser ke ruang nonisolasi.
"Bangsal infeksi sudah penuh. Masalahnya pengecekan swab ini lama. Dulu empat hari, sekarang tujuh sampai 10 hari baru keluar. Sampai sekarang pun masih ada yang belum keluar," kata Reviono kepada wartawan, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, PDP yang dirujuk ke RSUD Dr Moewardi langsung masuk ruang isolasi dan diambil swab-nya. Kemudian, spesimen berupa lendir hidung atau tenggorokan dikirim ke Balitbangkes. Namun, antrean di Balitbangkes dianggap terlalu lama.
"Kami juga menunggu tujuh sampai 10 hari. Ini PDP kami belum keluar hasil tesnya, keluarga dia sudah jadi ODP (orang dalam pemantauan), dianggap positif. Sudah meninggal hasil tesnya baru keluar. Kasusnya seperti itu kan sudah terjadi," ungkapnya.
Reviono menyebut ada enam PDP yang meninggal, tetapi hasil tes swab-nya belum diketahui. Satu dari PDP tersebut memiliki anak yang terkonfirmasi positif corona. Hasil swab anaknya lebih dahulu diketahui daripada bapaknya yang meninggal dengan status PDP.
"Pemakaman tetap menggunakan protokol Covid-19. Makanya Solo harus ada laboratorium supaya lebih cepat hasilnya," kata dia.
Salah satu laboratorium yang direncanakan untuk diajukan adalah laboratorium milik RS Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo. Syaratnya, level keselamatan biologi atau biosafety level yang dibutuhkan minimal 2+ atau yang berhubungan dengan agen-agen eksotik yang dapat mengakibatkan potensi terkena penyakit berbahaya.
"Tapi, alatnya kami belum punya. Keamanan laboratoriumnya belum terpenuhi. Kalau bisa selesai di situ, kami tidak kesulitan dan lebih cepat hasil swab-nya. Jadi, tidak terlalu lama menunggu," ucapnya.
Reviono menambahkan, berdasarkan seruan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), semua dokter harus bisa merawat pasien Covid-19 dengan diberikan pelatihan khusus. Dengan demikian, semua rumah sakit bisa merawat sendiri dan tidak terpaku pada rumah sakit rujukan. Selain dokter, perawat juga harus diberikan pelatihan khusus. "Cuma masalahnya di sumber daya manusia, ada lagi problem ruang isolasi, kemudian alat perlindungan diri (APD)," ujarnya.