Sabtu 04 Apr 2020 17:36 WIB

Pakar Kesehatan UGM: Physical Distancing Tetap yang Utama

Corona cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara yang dingin dan kering.

Rep: my31/ Red: Fernan Rahadi
Warga mengantre dengan menerapkan physical distancing di Wuhan, Provinsi Hubei, China. China pada Sabtu (4/4) melaporkan tambahan 19 kasus baru infeksi covid-19.
Foto: AP Photo/Ng Han Guan
Warga mengantre dengan menerapkan physical distancing di Wuhan, Provinsi Hubei, China. China pada Sabtu (4/4) melaporkan tambahan 19 kasus baru infeksi covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan faktor iklim menjadi keuntungan tersendiri bagi negara-negara yang memiliki temperatur dan kelembaban tinggi seperti Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19. Namun Menko Luhut menekankan bahwa social distancing (penjarakan sosial) atau physical distancing (penjarakan fisik) tetap menjadi faktor utama, karena jika hal tersebut tidak dilakukan dengan ketat, maka keuntungan dari faktor temperatur tersebut tidak lagi berlaku.

Merespons isu tersebut, Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengembangan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Umum dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Yodi Mahendradhata menyebut bahwa memang ada studi-studi yang mengindikasikan bahwa suhu tinggi dan kelembaban tinggi mungkin dapat mengurangi penularan virus corona, namun faktor-faktor lain tetap lebih berperan dalam penularan. 

“Namun saya ingin menekankan bahwa salah satu faktor utamanya tetaplah kedisplinan masyarakat untuk melakukan social atau physical distancing,” ujar Dr Yodi.

Sebuah penelitian oleh Jingyuan Wang, Associate Professor di Sekolah Ilmu dan Teknik Komputer, Universitas Beihang, Beijing, menjelaskan bahwa mirip dengan virus influenza, virus corona cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara yang dingin dan kering.  Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan host immunity (kekebalan) seseorang dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus.

Lebih lanjut, Melanie Bannister-Tyrrell, seorang konsultan senior di Ausvet, perusahaan epidemiologi swasta terkemuka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah, yaitu sekitar 1 sampai 9 derajat celcius. Artinya, semakin tinggi temperatur, maka dugaan adanya kasus Covid-19 harian semakin rendah.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati membenarkan apa yang disampaikan oleh Menko Luhut. Menurutnya, di bulan Desember-Januari, belum ada kasus di negara tropis, seperti di Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia. Menurut literatur yang ada, hal ini dikarenakan pada saat itu suhu di tempat kita ini temperaturnya lebih dari 20 derajat, dan cocok dengan fakta Desember dan Januari belum ada kasus. Namun, pada outbreak kedua, pengaruh iklim ini kalah dengan pengaruh yang lebih kuat penyebarannya oleh mobilitas orang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement