Jumat 03 Apr 2020 12:35 WIB

Menolak Jenazah Terinfeksi Covid-19, di Mana Nuranimu?

Islam mengajarkan memuliakan jenazah.

Ani Nursalikah
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*)

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS Ali Imran: 185).

Sedih benar saya waktu mendengar telah terjadi sejumlah penolakan mengubur jenazah pasien yang terinfeksi virus corona atau Covid-19. Coba diam sejenak dan tempatkan dirimu di posisi keluarga korban. Bagaimana jika penolakan tersebut terjadi pada kita?

Tak terbayang pilunya. Sudah ditinggal orang tercinta, tak bisa melihat wajahnya untuk terakhir kali, lantas mendapat penguburan yang layak juga tak berhak? Saat mendampingi terakhir kali di liang lahat pun mereka hanya bisa menyaksikan orang yang dikasihinya dari jauh.

Perlu diingat, kewajiban seorang Muslim terhadap Muslim yang meninggal adalah menguburkannya. Berbagai aturan dalam Islam mengenai memakamkan jenazah menunjukkan Islam sangat memuliakan umat manusia. Melakukan penguburan hukumnya fardhu kifayah, artinya wajib dilakukan kaum Muslimin, tetapi cukup dengan perwakilan beberapa orang.

Namun, hal ini bisa menjadi pengecualian di saat darurat wabah virus corona saat ini. Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama sudah merilis protokol mengurus, menyalatkan, dan menguburkan jenazah yang terinfeksi Covid-19.

Pihak yang boleh mengurus jenazah hanya petugas kesehatan dari rumah sakit. Petugas saat melaksanakan tugasnya mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap.

Setelah dikafani, jenazah dibungkus dengan kantong plastik yang tidak tembus air, disemprot disinfektan, dimasukkan dalam peti kayu, kemudian disegel, dipaku, dan dilapisi plastik. Setelah itu, peti kembali disemprot disinfektan, dan disegel. Tata cara mengurus jenazah secara berlapis tersebut tidak lain untuk memastikan tidak ada cairan tubuh dari jenazah yang keluar dan bisa menulari orang lain.

Kerabat bisa menyaksikan proses penguburan dari jauh. Itu pun sebaiknya tidak dalam jumlah besar. Takziah sebaiknya tidak digelar demi menghindari kerumunan massa yang berpotensi menularkan corona.

Jika semua prosedur tersebut sudah dilaksanakan, masyarakat tidak perlu khawatir jenazah bisa menularkan atau bahkan menyebarkan virus corona. Ingatlah bahwa syariat Islam tidak mengajarkan menolak pemakaman jenazah.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut tindakan menolak penguburan jenazah tidak mencerminkan perilaku islami. Sedangkan, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH M Cholil Nafis menyatakan penolakan masyarakat terhadap penguburan jenazah positif corona haram hukumnya.

Apalagi sampai ada jenazah yang sudah dikubur, lantas terpaksa digali kembali. Jelas hal ini sangat merepotkan petugas karena penanganannya membutuhkan pakaian khusus dan prosedur tersendiri.

Virus corona seperti virusnya lainnya, membutuhkan inang untuk bisa hidup. Ketika manusia yang terinfeksi meninggal, virus pun akan ikut mati.

Bagaimana dengan pertanyaan bahwa jenazah tidak akan menularkan karena virus hanya menular melalui percikan, seperti batuk dan bersin? Jenazah bisa berpotensi menularkan virus karena jenazah yang baru meninggal akan mengeluarkan cairan dari tubuh.

Karena itulah, penanganannya harus dengan APD dan jenazah sudah harus dimakamkan dalam waktu empat jam. Menurut Kepala Departemen dan SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD dr Soetomo Surabaya Edy Suyanto, protokol yang sama juga berlaku pada jenazah terinfeksi HIV/AIDS dan flu burung.

Menghadapi maraknya penolakan warga terhadap penguburan jenazah positif Covid-19, sejumlah pemerintah daerah bergerak dengan menyediakan area pemakaman khusus. Bukan mendiskriminasi, tapi hal ini demi mengakomodasi kebutuhan memakamkan jenazah dengan cepat dan antisipasi penolakan warga.

Hal yang paling penting adalah memberi pemahaman kepada masyarakat. Kekhawatiran jenazah yang sudah ditangani sesuai protokol menularkan virus adalah hal tidak berdasar.

Sosialisasi dan informasi mengenai penanganan jenazah bisa ditambah ketika petugas berkeliling mengingatkan masyarakat agar tidak berkumpul. Seiring bertambahnya jumlah korban wafat akibat corona, informasi ini perlu diperbanyak.

Mungkin perlu kita ingat sejenak, korban wabah penyakit bisa mendapatkan pahala seperti orang mati syahid di mata Allah SWT. Dari Aisyah ra, istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-tha'un. Rasulullah lalu menjawab: Sesungguhnya wabah al-tha'un (penyakit menular dan mematikan) itu adalah ujian yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah juga menjadikannya sebagai rahmat (bentuk kasih sayang) bagi orang-orang beriman. Tidaklah seorang hamba yang ketika di negerinya itu terjadi al-tha'un lalu tetap tinggal di sana dengan sabar (doa dan ikhtiar) dan mengharap pahala disisi Allah, dan pada saat yang sama ia sadar tak akan ada yang menimpanya selain telah digariskan-Nya, maka tidak ada balasan lain  kecuali baginya pahala seperti pahala syahid" (HR Al-Bukhari).

Dari Abu Hurairah diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: "Orang syahid itu ada lima: orang terkena wabah penyakit, orang mati karena sakit di dalam perutnya, orang tenggelam, orang tertimpa reruntuhan bangunan, dan orang syahid di jalan Allah (mati dalam perang di jalan Allah)" (HR Al-Bukhari).

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement